Benar-benar Cuci Otak
Usianya sudah 6 tahun, bahkan bicara pun tak jelas, ia tidak dapat melakukan apapun yang diajarkan orangtuanya.
Dari luar tidak kelihatan, namun sebenarnya idiot, ia tidak ingat apapun.
Ia juga tidak bisa hitung dari satu hingga seratus.
Matematika sederhana juga tidak bisa.
Pangan, sandang, papan, dan transportasi harus dilayani orang lain. Berpakaian dan makan pun tidak bisa.
Sudah usia 6 tahun, bahkan ke toilet pun tidak bisa. Buang air besar maupun kecil selalu di celana.
Orang tuanya panik, membawanya ke tempat saya, saya membuka "Kitab Langit", begitu saya baca ternyata dua kata "cuci otak".
*
"Tubuh maya" saya keluar.
Masuk ke mimpi "Yang Yi", ia bermimpi Mahaguru Lu membawanya ke sungai langit.
Membuka batok kepalanya.
Mati-matian membersihkan dengan air dari sungai langit, banyak kotoran yang keluar, simpul-simpul di otak juga dibuka satu per satu.
Terakhir, batok kepalanya dijahit kembali.
Kemudian, Mahaguru Lu mengantarkan "Yang Yi" dari "Sungai Langit" kembali ke dalam mimpinya. Ia terus berada dalam mimpi.
Aneh juga.
Sejak "Yang Yi" bermimpi ini, semua ingatannya kembali normal, bicara pun sudah jelas, ia dapat melakukan setiap urusannya sendiri, pangan, sandang, papan, transportasi, semuanya normal.
Apapun yang disampaikan padanya, semuanya ingat.
Ke toilet pun tidak perlu diajari.
Tugas sekolah, sekali belajar langsung mengerti.
"Yang Yi" yang berusia 6 tahun tak disangka menjadi "anak berbakat".
Buku hanya dibaca sekali, ingat semuanya.
Orangtua "Yang Yi" tadinya kuatir dengan anak mereka yang idiot ini, namun, sekarang kekuatiran mereka telah hilang, anak mereka justru lebih luar biasa daripada anak normal.
Saya beritahu orangtua Yang Yi, "Otak anak ini dicuci berkat air suci dari sungai langit, dan air suci ini mengalir dari botol suci Bodhisattva Avalokitesvara, kalian seharusnya bersyukur pada Bodhisattva Avalokitesvara, dengan tulus menjapa Sutra Hati, japa Mantra Sadaksara, atau dengan tulus menjapa nama suci Avalokitesvara."
Orangtua "Yang Yi" menurutinya.
Kejadian ini sempat menggemparkan seluruh Taiwan. Dipuji sebagai pengobatan sakti.
Pernah ada seorang bhiksu, juga demikian, ia selalu lupa dengan Sutra yang telah dibacanya berulang-ulang, tidak bisa ingat sama sekali.
Di dalam mimpi, ia bertemu dengan Mahaguru Lu.
Membawanya ke sungai langit untuk "cuci otak".
Setelah bangun dari mimpi, ia menjadi ingat dengan semua Sutra yang dibacanya.
Berkat kejadian menakjubkan ini, si bhiksu khusus datang bersyukur atas bantuan saya.
Di dunia manusia ada "cuci otak".
Di surga juga ada "cuci otak" di sungai langit.
Orang yang mendengar kabar nyata ini menaruh hormat pada cuci otak Mahaguru Lu di "Sungai Langit".
Sajak berbunyi:
Sungai langit boleh cuci otak.
Sungguh berita mengejutkan di dunia ini.
Memang ada kejadian demikian.
Terang memasuki beranda merah.
Meramalkan Masa Depan
Palden Lhamo juga disebut "Laksmi", ayahnya adalah "Pancika", ibunya adalah "Hariti", Ia adalah adik dari "Dewa Vaisravana".
"Suvarna-prabhasa-(uttama)-sutra" tercatat: "Bab Laksmi".
"Usnisa-vijaya-raja-sutra" tercatat: "Bab Dewi Mahashri".
"Mahālaksmī" dan "ārya-śrī-Mahādevī-vyākarana" juga mencatatnya.
Wujudnya:
"Bertubuh tegak, berwarna merah dan putih, dihiasi gelang dan anting dari batu berharga, mengenakan jubah surgawi dan mahkota pusaka. Tangan kiri Dewi Mahashri memegang permata pengabul kehendak, tangan kanan membentuk abhaya mantra, berdiri di atas teratai."
Di "Arama Nanshan" saya mempersemayamkan satu pratima Dewi Mahashri, setiap hari saya menjapa mantra-Nya.
"OM. MOHESHILIYE. SUOHA."
*
Ketika saya bertemu dengan penguasa neraka "Raja Yama".
Saya bertanya pada Raja Yama, "Walaupun saya tahu asal usul saya sendiri adalah Buddha Amitabha, namun, saya tetap ingin sekali tahu ramalan masa depan saya sendiri."
Raja Yama terbahak-bahak, "Mengapa tidak bertanya pada Dewa Mahashri, ramalannya nomor satu."
Raja Yama berpkir sejenak, melanjutkan, "Mahaguru Lu, Anda lupa! Bukankah Anda sendiri meramalkan masa depan orang lain? Mengapa Anda tidak meramalkan masa depan Anda sendiri?"
Saya merasa tercengang, benar, saya adalah Sheng-yen Lu yang nomor satu dalam meramal, dulu, sehari meramal 300 orang, segera memutuskan mujur atau malang seseorang, dan hasilnya tepat sekali.
Dan sekarang, saya malah ingin mengetahui masa depan saya sendiri, tidak meramal sendiri, tapi ingin diramal oleh Dewi Mahashri, bukankah itu lelucon terlucu di dunia ini?
Saya bertanya pada Raja Yama, "Saya tidak ingin meramal lagi, saya hanya ingin tahu masa depan ketiga kuntum teratai besar."
(Ketiga kuntum teratai besar paling saya kuatirkan)
Raja Yama berkata, "Tenang saja, tahukah Anda siapa yang dulu pernah masuk ke neraka?"
"Siapa?"
"Buddha Sakyamuni pernah masuk ke neraka, bahkan bertumimbal lahir ke alam hewan, contohnya menjadi raja singa, raja rusa, dan raja monyet. Buddha Sakyamuni melanggar sila pembunuhan, melanggar sila berzinah. Banyak Bodhisattva pernah turun ke neraka, bahkan bhiksu dhyana keempat pun masuk ke neraka. Ketiga teratai besar dari suku teratai Anda, juga tidak perlu terlalu dikuatirkan."
Saya berkata, "Benar. Benar."
Raja Yama berkata, "Anda ingin melihat masa depan Anda sendiri, bukankah Anda memiliki "Kitab Langit" pemberian Bodhisattva Maitreya, mengapa tidak dilhat saja?"
"Benar juga ya, benar-benar tidak terpikir oleh saya!"
Saya telah melihat "Kitab Langit", yang membuat saya terkejut adalah:
"Kosong."
Kosong, kosong, kosong, kosong, kosong.
Saya tercerahkan.
Raja Yama tertawa, Raja Yama memberitahu saya sebuah kisah:
Dulu ada seorang bhiksu Sangha, suka membaca "Saddharma Pundarika Sutra".
Begitu membaca kalimat 「諸法從本來,常自寂滅相」(Zhu fa cong ben lai, chang zi ji mie xiang = semua Dharma berasal dari dasar, senantiasa berada dalam wujud nirvana diri), tiba-tiba bingung.
Si bhiksu merenungkan 「諸法從本來,常自寂滅相」, bahkan berjalan, berdiri, duduk, dan berbaring pun memikirkan kalimat yang satu ini, memikirkan dan terus memikirkan, sama sekali tidak ada titik terang.
Tiba-tiba datang musim semi, mendengar suara kicauan kepodang di ujung ranting, ia barulah cerah seketika.
Si bhiksu menulis sebuah gatha:
諸法從本來。 Zhu fa cong ben lai. (Semua Dharma berasal dari dasar.)
常自寂滅相: Chang zi ji mie xiang: (Senatiasa berada dalam wujud nirvana diri:)
春至百花開。 Chun zhi bai hua kai. (Musim semi datang ratusan bunga bermekaran.)
黃鶯啼柳上。 Huang ying di liu shang. (Kepodang berkicau di atas ranting willow.)
Raja Yama berkata pada saya, "Anda melihat "Kitab Langit" Anda, alhasil kosong, Anda pasti sudah cerah, apa itu mujur? Apa itu malang?"
Saya menjawab, "Cerah! Cerah!"
Raja Yama berkata, "Sekarang, semua fitnah di bumi ini hanya kicauan kepodang saja!"
Saya menjawab, "Cerah! Cerah!"
"Mahaguru Lu, Anda lihat siapa saya Raja Yama?"
Sekali saya melihat, saya terperanjat, ternyata Raja Yama adalah penjelmaan dari Bodhisattva Ksitigarbha.
"Mengapa justru Anda?"
"Walau menampakkan wujud yang biasa, namun justru keliru melihat," ujar Bodhisattva Ksitigarbha.
Sajak berbunyi:
Mana ada mujur dan malang.
Ternyata kosong belaka.
Semua Dharma berasal dari dasar.
Cukuplah untuk berbesar hati.
OM BULIN
Saya menjawab, "Mantra ini adalah mantra eka-aksara yang terdapat dalam SUTRA TATARITUAL MANJUSRI. Juga disebut sebagai Mantra Mahacakra Eka-aksara, yang dilafal dengan bunyi Bulin."
"Mengapa sadhaka Zhenfo Zong usai menekuni Sadhana Tantra Satya Buddha wajib menjapa mantra ini?"
"Menurut kitab sutra, segala mantra dan sadhana yang ditekuni oleh sadhaka bisa saja gagal. Namun, jika ditambahkan mantra OM BULIN pada bagian akhir sadhana, niscaya sadhana yang sedang ditekuni ini pasti akan berhasil. Jikalau masih gagal lagi dan tidak berkhasiat, maka kepala dari dewa yang memiliki mantra ini akan pecah menjadi tujuh bagian. Oleh sebab itu, mantra ini dikenal dapat membantu keberhasilan penjapaan semua mantra dalam waktu yang relatif singkat."
"Apa keunggulan dari OM BULIN?"
"Selain dapat membantu keberhasilan penjapaan semua mantra dalam waktu yang relatif singkat, roh-roh jahat di dalam radius lima ratus pos surat akan kabur oleh suara mantra ini. Begitu pula para makhluk beringas di bintang dan Mara di langit juga tidak berani mendekat. Mantra yang bagaikan mutiara manikam ini dapat pula mengabulkan semua doa, menaklukkan setan jahat, menghancurkan semua kutukan di dunia, memberikan rasa aman dan bahagia kepada seluruh makhluk."
"Mengapa OM BULIN memiliki keunggulan yang sedemikian besar ini?"
"OM BULIN adalah hati dari Bodhisattva Manjusri, dan merupakan anuttara-usnisa dari segenap Buddha."
Sebenarnya, bunyi Mantra Mahacakra Eka-aksara yang pokok hanya BULIN, sementara OM bermakna 'berlindung dengan hormat'. Mantra ini ditransmisi oleh Vajracarya Pufang kepada saya. Untuk itu, patutlah kita bersyukur atas transmisi dari Vajracarya Pufang ini.
"Mengapa setelah menjapa tiga kali OM BULIN, perlu menambahkan lagi OM MANI PADME HUM?"
"Mantra Mahavidya Sadaksara ini sudah sangat dikenal. Untuk memahaminya, simaklah SUTRA RATNARAJA MAHAYANA. Sutra ini menyebutkan bahwa mantra yang dijapa pada akhir sadhana ini memiliki kekuatan samadhi yang tak terhingga, dan akan membantu mencapai tingkat Bodhisattva dalam waktu yang relatif singkat."
Ketahuilah, seluruh umat di daratan Tibet pun menjapa OM MANI PADME HUM!
Semangat Taat Sila
Seorang Guru akan bertanya pada seorang siswa yang siap menerima sila, "Sanggupkah bertahan atas Sepuluh Perbuatan?"
Siswa menjawab, "Sanggup."
Apa yang dimaksud dengan Sepuluh Perbuatan? Sepuluh Perbuatan tersebut sangat menakutkan, yakni:
1. Memotong daging sendiri untuk dimakan elang.
2. Merelakan tubuh sendiri untuk dimakan macan.
3. Memenggal kepala sendiri untuk dikorbankan kepada dewa.
4. Mematahkan tulang sendiri untuk diambil sumsumnya.
5. Menancapkan ribuan lilin di tubuh untuk dijadikan penerangan.
6. Mencungkil mata sendiri untuk didonorkan pada orang lain.
7. Menguliti kulit sendiri untuk ditulisi sutra.
8. Menusuk jantung sendiri untuk menyatakan kebulatan tekad.
9. Membakar tubuh sendiri untuk dipersembahkan pada Buddha.
10. Mengucurkan darah sendiri untuk menyiram tanah.
Kesepuluh perbuatan tersebut menggambarkan semangat pengorbanan diri Bodhisattva Mahayana. Tentu, saya tidak minta siswa melakukannya karena ini merupakan tindakan menyiksa diri yang saya kira sudah tidak sesuai lagi pada zaman sekarang. Namun, bagi orang yang menerima sila dan bertekad menaatinya lalu menyatakan sanggup bertahan atas Sepuluh Perbuatan ini, tentu tidak akan sembarangan melanggar sila dengan mudah. Paling tidak belajarlah pada semangat orang bijak zaman dulu yang menaati sila dengan gigih!
Sekarang ini banyak sadhaka Zhenfo Zong yang menjalani Bodhisattva-sila. Tidak sedikit pula yang menjalani Sila Kebhiksuan. Namun, sedikit sekali yang sanggup menaati sila dengan sungguh-sungguh. Hal ini cukup prihatin. Saya tidak menemukan sedikit pun semangat taat sila dalam diri mereka. Sangat disesalkan.
Ketahuilah, orang yang memiliki wawasan luas tentang sila dan senantiasa mematuhi sila dengan ketat, disebut Guru Vinaya; orang yang melatih meditasi Zen dan memperoleh pencerahan, disebut Guru Zen; orang yang memahami dan menekuni doktrin Tantra maupun non-Tantra serta mengamalkannya, disebut Guru Dharma. Yang memiliki ketiga-tiganya, disebut Vajra Acarya yang sejati.
Menaati Sila
Ini sungguh sebuah keliru besar!
Setiap umat Buddha, baik Tantra maupun non-Tantra, tahu betapa pentingnya menaati sila dan wajib mempelajari Trisikhha, yaitu yang terdiri atas sila, samadhi, dan prajna.
Sila mengacu pada pelanggaran perbuatan jahat.
Samadhi mengacu pada penempatan pikiran secara terfokus.
Prajna mengacu pada pengenyahan ilusi untuk menuju kebenaran.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa menaati sila adalah suatu upaya untuk memperoleh kebersihan hati yang damai. Hati yang dapai dapat mempermudah samadhi. Dan melalui samadhi, seseorang akan mampu mengamati segala sesuatu secara jernih, kemudian menumbuhkan kebijaksanaan.
Agama Buddha mempunyai banyak sila, antara lain Pancasila, Astasila, Dasasila, Bodhisattva-sila, 250 Sila Upasampada, dan lain-lain. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan antara umat Tantra maupun non-Tantra. Semuanya wajib mematuhi sila.
Selain itu, di dalam ajaran Tantra masih ada lagi yang disebut sebagai 50 Abdiguru, 14 Sila Utama Tantra, Silavrata Paramarsa, Pratimoksa, sila yang berkaitan dengan perilaku seksual, dan lain sebagainya. Sepengetahuan saya, sila ajaran Tantra bahkan lebih terperinci dan lebih keras dibandingkan sila ajaran non-Tantra.
Melanggar sila dalam ajaran Tantra akan berakibat masuk ke Neraka Vajra. Konsekuensi karmanya sangat berat, antara lain menelan ayogu, meneguk cairan besi yang berpijar, mengenakan baju besi yang membara, berbaring di ranjagn besi yang membara. Selamanya tak ada hari kebebasan, sungguh mengerikan.
Seorang sadhaka yang menekuni Sadhana Tantra Satya Buddha harus menaati sila dengan ketat. Sebelum memasuki Nirvana, Buddha Sakyamuni menghendaki para siswa kelak berpedoman pada sila karena taat sila adalah pangkal keberhasilan.
Jika seseorang menyatakan dapat mencapai ke-Buddha-an tanpa menaati sila, itu berarti melanggar Sila Samaya. Ketahuilah, bagaimana mungkin membangkitkan keyakinan para dewa dan manusia jika tidak mematuhi sila. Tidak mematuhi sila berarti bertentangan dengan jalan kemudian dan mengikuti arus fana yang pada akhirnya takkan memperoleh vimoksa dan takkan menuntaskan samsara!
Persembahan
Yang paling menarik adalah kisah Lama Ngokpa ketika memohon abhiseka suatu sadhana yang merupakan tingkatan Anuttarayoga Tantra dari Gurunya, Marpa.
Guru Marpa berkata, "Mesti melepaskan semua kemelekatan dan rintangan. Oleh karena itu, untuk abhiseka ini, Anda wajib mempersembahkan seluruh kekayaanmu pada Guru." Tanpa ragu-ragu, Lama Ngokpa pun membawa semua sapi dan dombanya ke tempat Guru Marpa untuk dipersembahkan, kecuali seekor domba berkaki pincang karena ia mengira Guru Marpa mungkin akan menolak domba yang pincang.
Mengetahui hal tersebut, Guru Marpa pun berkata, "Semua kekayaan berarti semua domba, termasuk domba berkaki pincang tanpa terkecuali." Lama Ngokpa pun segera mempersembahkan domba berkaki pincang itu kepada Guru Marpa.
Menurut ajaran Tantra, Sadhana Anuttarayoga Tantra adalah sangat berharga sehingga seorang siswa yang ingin memperoleh abhiseka Sadhana Anuttarayoga Tantra wajib menghargai dan tidak boleh mengabaikan sadhana yang diinginkan oleh Guru, dan wajib memberi persembahan yang bernilai tinggi.
Di samping itu, kemelekatan pada emas dan perhiasan yang berharga merupakan rintangan terbesar bagi seorang sadhaka. Untuk itu, penting bagi seorang sadhaka belajar melepaskan miliknya yang berharga.
Kebiasaan saya, persembahan seorang murid kepada saya adalah bersifat sukarela! Namun, tolong jangan keliru mengira bahwa Sadhana Tantra saya ini tidak berharga, atau tidak langka, atau bukan yang terbaik, bukan ajaran yang luar biasa, sehingga bersifat sukarela. Untuk hal ini saya punya alasan tersendiri. Bagi saya, Sadhana Tantra adalah suatu sadhana yang mahatinggi. Sadhana yang saya peroleh ini sama sekali bukan sesuatu yang dapat ditukarkan dengan uang, perhiasan, berlian, mobil mewah, atau rumah mewah.
Sedangkan persembahan yang saya inginkan dari para siswa yaitu setiap hari menjaga kebersihan perbuatan, ucapan, dan pikiran diri; kemudian bersadhana dengan sungguh-sungguh agar cepat mencapai keberhasilan dan mampu membabarkan Dharma; memperoleh pencerahan baik untuk diri sendiri maupun sesama umat.
Persembahan Dharma seperti inilah yang merupakan persembahan terbesar untuk saya.
Persembahan (II)
Sad-paramita Bodhisattva, yakni Dana-paramita, Sila-paramita, Ksanti-paramita, Virya-paramita, Dhyana-paramita, dan Prajna-paramita.
Dana-paramita ditempatkan di urutan pertama, dan dikategorikan menjadi Amisa-dana, Dharma-dana, dan Abhaya-dana.
SUTRA VAJRA menyebutkan: "Subhuti, seseorang membawa tujuh jenis barang berharga yagn ditumpuk sebanyak semua Gunung Semeru di trisahasra dan mahasahasra lokadhatu, dan memberikannya sebagai persembahan. Lalu, bila seseorang lagi yang berbudi yang telah memahami sebuah gatha sederhana yang terdiri dari empat baris dari SUTRA PRAJNA PARAMITA dan menyampaikannya kepada orang lain. Subhuti, pahala dari orang berbudi tersebut lebih besar seratus kali lipat, bahkan berlipat ganda yang tidak terhingga."
Ayat dari sutra ini menunjukkan bahwa persembahan Dharma menduduki tingkat teratas dari semua jenis persembahan.
Amisa-dana memberikan pertolongan pada kehidupan fisik, sementara, Dharma-dana memberikan penyelamatan pada kehidupan spiritual. Amisa-dana bersifat sementara, sedangkan, Dharma-dana bersifat abadi karena menawarkan kebebasan sejati dari penderitaan, dan terbebas dari samsara.
Saya melihat perkembangan Agama Buddha di zaman sekarang ini justru bertolak belakang. Amisa-dana sangat marak, sementara, Dharma-dana justru hampir nihil. Betapa malangnya!
Banyak umat Buddha di zaman sekarang ini lebih tertarik dengan Amisa-dana untuk membangun vihara, rumah sakit, universitas, stasiun televisi. Sedikit sekali umat yang melakukan Dharma-dana. Sungguh memprihatinkan!
Saya tegaskan, umat Zhenfo Zong tidak perlu mempersembahkan dana atau barang-barang berharga kepada saya selaku Mula Acarya. Tetapi tekunilah Sadhana Tantra Satya Buddha dengan sungguh-sungguh, karena bagi saya itulah persembahan terbaik dari seorang siswa kepada saya.
Saya ini seorang Vajra Mahakarunia yang memiliki harta karun yang tak terhingga. Harta karun tersebut tidak berada di bumi, melainkan berada di langit.
Acarya Sejati
Saya memiliki mahkota Dharmasami dari Milarepa, jubah Dharmasami dari Ganden Tripa, stempel Dharmasami dari Sakya Trizin. Juga memiliki vajradorje, vajragantha, dan ratna kalasa milik Guru Silsilah, kitab sadhana yang ditransmisi langsung oleh Guru Silsilah, dan sebagainya. Semua ini merupakan barang bukti yang diberikan kepada seorang acarya sejati.
Di antara barang-barang bukti yang sangat berharga itu, ada dua yang paling kubanggakan, yakni pratima Bodhisattva Vajrapani dan Vajrayogini dari bahan tanah liat buatan tangan Kanjurwa Khutughtu sendiri. Kedua benda pusaka yang diberikan kepadaku oleh Guru Thubten Dhargye ini berasal dari Kanjurwa Khutughtu. Kini tersimpan di Villa Pelangi.
Dengan memiliki Sadhana Tantra yang bersilsilah, dan 'menghormati Guru, menghargai Dharma, bersadhana dengan penuh kesungguhan', saya telah mencapai keberhasilan sejati. Sementara itu, saya cenderung merasa iba dan membangkitkan Bodhicitta yang besar untuk membabarkan ajaran dan penerapan Agama Buddha di seluruh dunia. Saya bersedia mengemban tugas mulia Tathagata dan mencurahkan seluruh hidup dan waktu saya pada Buddha.
Saya memiliki kepercayaan yang teguh pada silsilah. Saya memiliki keyakinan yang mutlak pada Sadhana Tantra Satya Buddha. Ketika saya memperoleh yukta dari semua sadhana, ratusa ribu Dakini bersorak-sorai mensyukuri keberhasilanku.
Adinataku menampakkan diri dan berkata, "Jangan punya vihara sendiri. Jangan punya wilayah kekuasaan sendiri. Jangan punya kekayaan sendiri. Jika Anda mendapatkan dunia, Anda akan kehilangan surga. Anda, Buddha Hidup Lian Sheng, yang telah mencapai tingkat spiritual yang sempurna, yang memiliki mahawelas asih dan pancaprajna, yang berakhlak luhur dan berhasil menuntaskan samsara, kini tidak perlu bimbang lagi."
Jika seseorang bertanya padaku, yang bagaimanakah disebut Acarya sejati?
"Bacalah artikel ini dengan seksama!" Demikian jawaban saya.
Sucikan Pikiran Sendiri
"Yang dapat Anda pelajari dari saya adalah cara menyucikan pikiran, bukan cara mendapatkan abhijna," jawab saya.
"Bukankah Buddha memiliki daya gaib?" tanya umat tersebut.
"Buddha memang memiliki abhijna, akan tetapi yang memiliki abhijna belum tentu adalah Buddha," jawabku.
Saya jelaskan padanya bahwa setan juga memiliki daya gaib. Baik dewa maupun setan sama-sama mempunyai daya gaib. Mara juga memiliki daya gaib, demikian pula para adharmik. Abhijna merupakan efek samping yang muncul secara tidak disengaja dalam penekunan sadhana, boleh dikatakan sebagai afiliasi. Jangan melekat pada fenomena demikian atau akan terjerumus ke jalan yang salah.
Seseorang yang semata-mata menuntut daya gaib, mudah sekali melekat pada hal tersebut. Lalu, pikiran yang tidak karuan pun bermunculan dan akan terjebak dalam kebingungan. Akhirnya, pasti akan jatuh ke dalam cengkeraman Mara. Seseorang yang terobsesi dengan daya gaib akan semakin jauh menyimpang dari ajaran Buddha, dan berubah menjadi setan.
Lantas apa yang Sang Buddha ajarkan pada kita?
Tetap saja kalimat yang klise itu juga, "Jangan berbuat kejahatan, lakukan kebajikan, dan sucikan pikiran sendiri, demikianlah ajaran Buddha."
Saya telah menulis lebih dari 150 buku. Pada hakekatnya, dari sekian banyak tulisan itu, saya dapat merangkumnya dalam satu kalimat, yakni 'Sucikan Pikiran Sendiri'.
Dalam Tantrayana, diyakini bahwa trikarma mampu berubah menjadi triguhya, yakni kesucian perbuatan, ucapan, dan pikiran. Dan inilah yang dimaksud sebagai 'Sucikan Pikiran Sendiri'.
Mengolah batin dan menyucikan pikiran, akan mencapai ke-Buddha-an.
Mendalami daya gaib, akan menjadi Mara.
Para penekun Sadhana Tantra Satya Buddha, camkanlah hal ini!
Belahan Roh
Mahadewi menjawab, "Dewa Rumput." Maksudnya, belahan roh itu sebanyak rumput yang ada di mana-mana. Oleh sebab itu, para dewa di kayangan menjulukinya sebagai Dewa Rumput.
Contoh: Namo Amitabha-Buddhaya dalam nama agung berjumlah tiga ratus enam puluh triliun seratus sembilan belas ribu lima ratus; avatara dari Buddha Vairocana yang berjumlah miliaran; avatara dari Locana yang berjumlah enam puluh triliun nahuta atau sebanyak butiran pasir di Sungai Gangga. Misalnya Bodhisattva Avalokitesvara, juga memiliki 32 nirmanakaya yang masing-masing menitis lagi dalam jumlah yang tidak terhitung banyaknya untuk kepentingan Dharma dan manifestasi daya gaib.
Sepengetahuan saya, belahan roh Padmakumara juga tidak terhitung banyaknya. Banyak umat Zhenfo Zong yang merupakan nirmanakaya dari Padmakumara. Saya adalah satu satu di antaranya. Boleh dikata, salah satu yang lebih cepat mencapai pencerahan. Dewa Rumput dari Padmakumara Putih yang telah mencapai pencerahan.
Sementara, belahan roh Mahadewi Yaochi yang saya kenali antara lain: Acarya Lian Ci, Dharmacarya Lianhua Chunlian, Lianhua Youzhen, Lianhua Suming, dan lain-lain.
Menurut saya, belahan roh para Yidam adalah sosok yang sangat mulia. Namun, belahan roh ibarat rumput yang ada di mana-mana atau ibarat bayangan bulan yang terpantul di permukaan air. Tanah suci Buddha merupakan manifestasi dari sebuah loka. Demikian pula belahan roh hanyalah ilusi saja.
Kalau tahu diri sendiri adalah belahan roh, justru harus semakin tekun dan menjaga sikap. Mesti menekuni Sadharma, berpengetahuan benar, berpandangan benar, dan berpikiran benar. Terlebih lagi harus melakukan sadhana dan membabarkan Dharma dengan sungguh-sungguh. Ketahuilah bahwa belahan roh atau tubuh penjelmaan itu ibarat gelembung, jika masih mempunyai sifat kemelekatan pada materi, maka tetap saja akan bertumimbal lahir di enam alam kehidupan!
Dewa Rumput jangan sampai tercemar dan terpuruk. Sekali salah langkah akan mengakibatkan penyesalan selama-lamanya.
Menjalani Hidup Kebhiksuan
Namun, tidak semua orang berkarma baik untuk dapat menjalani hidup sebagai seorang bhiksu. Oleh sebab itu, tidak ada paksaan yang mengharuskan seorang sadhaka menjalani hidup kebhiksuan. Seorang sadhaka boleh saja bersadhana sebagai seorang perumah tangga. Segala sesuatu harus berjalan secara alami. Dengan kata lain, menjalani hidup kebhiksuan ataupun tidak, keduanya adalah sama baiknya.
Umat Zhenfo Zong yang ingin menjalani hidup kebhiksuan harus mempertimbangkan tiga hal:
1. Apakah menderita cacat atau mengidap penyakit kronis? Apakah menderita gangguan jiwa? Apakah pernah melakukan tindak kriminal?
2. Apakah telah mendapatkan persetujuan dari orang tua atau pasangan hidup?
3. Apakah sanggup menjalani kehidupan sadhana yang monoton dan cenderung kesepian?
Saya kira tiga hal ini sangat penting. Kalau sudah dipertimbangkan dengan matang, silahkan.
Jika kemudian Anda merasa apa yang dibayangkan cenderung tidak cocok setelah menjalani hidup kebhiksuan, Anda boleh memilih untuk kembali ke kehidupan duniawi. Anda bebas memilih, tak seorang pun yang bisa menghalangi diri Anda kembali ke kehidupan duniawi. Dengan melepaskan jubah bhiksulhama dan membiarkan rambut memanjang, Anda pun boleh kembali menjadi seorang perumah tangga. Kembali ke keduniawian bukanlah hal yang memalukan, Anda masih boleh terus menekuni Sadhana Tantra Satya Buddha! Bedanya, Anda hanya memilih untuk tidak fulltime saja!
Ketahuilah, menjalani hidup kebhiksuan adalah sebuah tindakan yang berani. Namun, bilamana upasaka atau upasika dapat berhasil mencapai pencerahan, justru lebih hebat lagi!
Sepanjang hidupku, saya amat menjunjung tinggi kebebasan dan demokrasi. DI bawah panji Zhenfo Zong, pemaksaan dikategorikan sebagai dosa.
Takabur
Apa yang dikatakan oleh Suma Ching Hai ini termasuk cukup berkapasitas.
Seorang bermarga Li dari aliran ilmu tertentu berkata, "Dharma yang diajarkan oleh Buddha Sakyamuni termasuk kecil. Ajarankulah yang besar. Orang zaman dulu melatih Dharma. Kini ajaranku melatih manusia."
Seseorang bertanya pada Li, "Siapa yang menyeberangkan para makhluk di dunia zaman sekarang?"
Li berkata, "Hanya saya. Tak ada orang lain."
Pernyataan Li menunjukkan bahwa dirinyalah satu-satunya "Buddha" di seluruh jagat raya ini, yang lain semuanya "Mara". Ia pernah mengomentari salah seorang bhiksu sebagai jelmaan dari "Mara". Ia juga mengomentari bahwa Sri Satya Sai Baba kerasukan roh ular sanca, Sekte Aum Shinrikyo itu setan neraka, dan para Guru Qigong daratan Cina dirasuki roh binatang.
Li mengatakan bahwa dirinyalah satu-satunya "Jalan Kebenaran".
Ada lagi seorang bermarga Xiao menyatakan, "Saya ini titisan Vairocana, raja dari puluhan ribu Buddha di seluruh jagat raya. Sheng-yen Lu hanya seorang Buddha kecil yang berada di bawah kuasa saya."
Nah, yang ingin saya sampaikan lewat artikel ini adalah bahwa setiap orang bisa saja menyatakan dirinya telah mencapai pencerahan; mengatakan orang lain tidak baik dan hanya dirinyalah yang terbaik; memuji diri sendiri dan mendiskreditkan orang lain; mengklaim dirinya terbesar dan tertinggi dalam pencapaian spiritual.
Saya katakan, sebagai sadhaka hendaknya dapat mengamati dengan mata yang jeli. Siapa yang sedang menyombongkan diri? Siapa yang sedang memuji diri sendiri dan mendiskredit orang lain? Siapa yang benar-benar memiliki ajaran ratna? Siapa yang pikirannya tidak viksepa? Siapa pula petapa yang mencapai pencerahan sempurna?
Sradha (Prakata)
Terus terang saya katakan, sebagai seorang yang telah mencapai ke-Buddha-an dalam tubuh sekarang, saya benar-benar pernah mendatangi Mahapadminiloka dan melihat kehidupan lampau saya sebagai Mahapadmakumara Putih.
Penekunan pada Sadhana Tantra Satya Buddha telah terbukti dan teruji. Selain dapat memperoleh kesehatan dan panjang umur, juga dapat mendatangkan kesejahteraan dan kebijaksanaan. Bahkan mampu bebas mengaktifkan Caturkaya dan Pancaprajna serta memanifestasikan Tubuh Cahaya Pelangi dan Anuttara Samyak Sambodhi.
Sebagai seorang umat pemula, Anda hendaknya yakin kepada Mulacarya, percaya kepada Buddha, Dharma, dan Sangha. Inilah yang dinamakan sradha.
Untuk mencapai keberhasilan dalam menekuni Sadhana Tantra Satya Buddha, tentu membutuhkan waktu yang cukup panjang. Janganlah menyerah menghadapi kesulitan. Sadhana Tantra Satya Buddha berguna untuk membebaskan diri dari pradasa, untuk mengendalikan samsara, dan untuk mencapai pencerahan. Oleh sebab itu, butuh keyakinan yang teguh.
Di dunia ini, ada satu orang yang selamanya berkeyakinan teguh. Orang tersebut adalah saya, Buddha Hidup Lian Sheng Lu Sheng-yen. Saya takkan pernah kehilangan keyakinan.
Saya telah menemui bencana yang beruntun dalam kehidupan saya. Kalau orang lain mungkin sudah patah semangat dan tidak mau berlatih diri lagi. Rintangan saya bertubi-tubi seakan tidak ada habisnya. Namun, saya justru semakin menguatkan tekad saya untuk terus berlatih. Sejak awal saya sudah mengemban kewajiban dari Tathagata.
Jadi, saya tidak pernah kehilangan keyakinan, Anda pun jangan kehilangan keyakinan! Marilah kita menguji keyakinan kita masing-masing untuk melihat keyakinan siapa yang paling teguh?
Saya ingin berbagi pengalaman kepada sesama umat Zhenfo Zong untuk saling memotivasi diri.
Alamat Buddha Hidup Lian Sheng Lu Sheng-yen:
Sheng-yen Lu
17102 NE 40th CT.
REDMOND WA. 98052
U.S.A.
Tiga Kali Padmakumara Menampakkan Diri
Semula mereka bermaksud mempersemayamkan pratima Padmakumara yang berbahan keramik, namun tempat tinggal mereka di Amerika Tengah, pengangkutan pratima keramik dari Asia ke Amerika Tengah yang berjarak sangat jauh itu beresiko tinggi karena bahan keramik mudah pecah. Mereka mendengar pratima tersebut juga ada yang berbahan perunggu, namun mereka tak tahu harus mencari ke mana? Selain itu, mereka juga mendapat kabar bahwa pratima Padmakumara berbahan keramik pun sudah didapatkan di Vihara Vajragarbha Seattle.
Kemudian mereka juga mendengar bahwa di Nepal ada yang membuat tangka Padmakumara. Menurut mereka, alangkah baiknya menggunakan thangka untuk obyek altar. Namun jumlah thangka Padmakumara yang tersedia pasti sangat terbatas.
Mungkin pratima berbahan keramik sudah tidak diproduksi lagi, dan ini merupakan pratima Padmakumara yang terawal. Untuk yang berbahan kayu, mesti memesan pada ahli ukir. Di Taiwan terdapat ahli ukir pratima, tetapi di Amerika Tengah tidak ada.
Demikian pula dari bahan-bahan yang lain, katanya ada di mana-mana, nyatanya cari di mana-mana pun tak ditemukan.
Pratima-pratima lain yang mereka butuhkan untuk altar di rumah tidak sulit didapatkan. Pratima Buddha Sakyamuni saja cukup banyak tersedia, ada yang buatan India, buatan Thailand, buatan Tibet, buatan Jepang, atau buatan Taiwan. Demikian pula pratima Buddha Amitabha, Avalokitesvara, dan Aramapala, rata-rata tersedia di toko barang-barang kesenian. Apalagi Trisuci Sukhavati, juga tersedia di toko barang-barang kesenian.
Ketika mereka datang ke toko barang kesenian untuk mencari pratima Padmakumara, si pemilik toko berkata, "Mendengar saja pun tak pernah. Apa ciri-ciri khas pratima Padmakumara?"
Mereka juga tak dapat menjelaskan ciri-ciri tersebut.
Si pemilik toko menjadi tertawa, "Kalian saja tidak tahu ciri khasnya, bagaimana mungkin ada di toko saya ini."
Pemilik toko ini setiap tahun hampir lima kali berkeliling di Negeri Cina untuk mendatangkan barang-barang kesenian beraneka macam seperti batu giok, ukiran batu alam, patung perunggu, cangklong rokok, vas bunga, pratima Buddha, pratima para dewa, perabot rumah tangga, perhiasan, dan lain-lain. Semua barang kesenian ini dijualnya dengan harga tiga kali lipat.
Banyak orang Barat atau imigran Asia yang sangat menggandrungi barang-barang kesenian dari Timur. Bahkan ada orang Barat yang meletakkan patung singa bekas kuburan tua di Tiongkok sebagai perhiasan di depan pintu rumah mereka. Begitu pula Papan Arwah keluarga di Tiongkok pun dijadikan bahan perhiasan oleh mereka. Lemari kuno berkotak-kotak kecil yang biasanya digunakan sebagai tempat penyimpanan bahan ramuan di toko obat tradisional Tiongkok pun dialih-fungsikan menjadi ornamen meubel. Sekesel bergaya oriental, kursi kebesaran, ranjang kuno, pispot, dan lain-lain, beraneka ragam.
Sedemikian hobinya mereka menyukai benda-benda ukiran ini sehingga seluruh ruang tamu, dapur, kamar tidur pun penuh dengan arca Buddha dan Bodhisattva. Sampai-sampai, pratima para dewa Dharmapala, dan Catur-Maharajika pun dijadikan sebagai benda pajangan.
Suatu ketika, secara kebetulan putra bungsu Lianhua Dazhou lewat di depan toko benda kesenian. Sepintas ia melihat seberkas cahaya keemasan berkelip. Dan di dalam cahaya itu ia melihat wujud Mahaguru Lian Sheng. Ia pulang ke rumah dan menceritakan apa yang ia lihat. Kedua orang tuanya tidak percaya.
Suatu kali, si putra bungsu itu kembali lewat di depan toko benda kesenian yang sama. Lagi-lagi terlihat berkas cahaya yang berkelip dengan wujud Mahaguru Lian Sheng di dalamnya. Saat ia ceritakan lagi pengalamannya itu, kedua orang tuanya tetap tidak percaya.
Baru setelah untuk ketiga kalinya si putra bungsu mengalami pengalaman yang sama, sekeluarga Lianhua Dazhou mendatangi toko benda kesenian tersebut dan mengutarakan keinginan mereka untuk membeli pratima Padmakumara.
Juragan toko berkata, "Tidak ada."
"Tapi anak saya melihatnya."
"Kalau begitu, silahkan mencarinya sendiri."
Di luar dugaan, ternyata tepat di samping mesin register toko itu berjejer rapi tiga buah pratima berbahan perunggu dengan ketinggian masing-masing 15 cm. Pratima tersebut berwajah agung, kepala mengenakan mahkota Panca Tathagata, duduk di atas padmasana, tangan kanan memegang vajradorje, tangan kiri memegang vajragantha. Gaya pemegangan ini disebut Mudra Fankou yang merupakan ciri khas Padmakumara.
"Ini dia! Ini dia!" seru Lianhua Dazhou sekeluarga dengan gembira.
Juragan toko berkata, "Saya juga tidak jelas kalau ini adalah Padmakumara, kukira Bodhisattva Ksitigarbha, itu sebabnya saya bawa pulang."
Akhirnya, sempurna dan lengkaplah altar di rumah Lianhua Dazhou.
Pergi! Pergi! Pergi!
Ratusan orang bhiksu diundang oleh konglomerat itu untuk membaca doa untuk almarhum kakeknya. Upacara perkabungan waktu itu terbilang termewah dan termeriah sepanjang sejarah di sana. Hampir seluruh tokoh negeri itu mulai dari presiden sampai kepala desa hadir untuk melayat.
Saya adalah seorang guru fengshui waktu itu, juga termasuk dalam daftar undangan mereka.
Ketika itu saya belum jadi bhiksu. Saya pernah belajar sedikit tentang 'liturgi', maka saya tahu sutra apa saja yang dibacakan oleh para bhiksu di sana.
Para bhiksu sedang membacakan Sutra Vajrachedika.
Isinya antara lain:
Nan ke yi meng shu huang liang. Kan tan ren sheng bu jiu chang.
You sheng you si jie you ming. Wu pin wu fu yi wu chang.
Huen fei po san gui he chu. Xing lang xin kong wang gu xiang.
Jian dui xu kong shen zhao qing. Ling zhan jing zhou wang xi fang.
Mereka juga membacakan Ikrar Sukhavati dan Gatha Pertobatan Arwah.
Di tengah berlangsungnya pembacaan sutra oleh para bhiksu, satu per satu pejabat negara maju ke meja altar mendiang untuk membakar dupa dan memberi penghormatan terakhir. Sanak keluarga almarhum membalas hormat dari sisi mendiang.
Waktu itu saya masih seorang tak terpandang yang tersembunyi di tengah kerumunan orang banyak. Saya adalah urutan terakhir yang maju ke meja altar untuk membakar dupa.
Sebenarnya saya enggan sekali untuk maju ke depan. Dalam suasana yang dihadiri banyak orang terpandang ini, saya benar-benar merasa takut dan minder.
Rupanya tuan rumah melihat kehadiranku. Ia memberi isyarat agar saya maju ke depan.
Maka, sebagai orang terakhir yang maju ke depan untuk membakar dupa, saya tidak berani menoleh ke kanan-kiri. Sambil melangkah ke depan, saya pun sambil berguman, "Pergi! Pergi! Pergi!"
Kata 'pergi' ini kumaksudkan untuk menguatkan rasa percaya diri sendiri agar berani 'pergi' tampil ke depan dan tidak bersembunyi di belakang. Betapa pun tingginya jabatan orang-orang di sekitar situ, mereka sama-sama manusia biasa yang tak perlu ditakuti. Lagipula saya adalah penasihat fengshui bagi si tuan rumah, tak ada hubungan apa-apa dengan orang-orang petinggi itu.
Setelah tujuh hari penuh para bhiksu membacakan Sura Vajrachedika dan memanjatkan Gatha Pertobatan. Malam hari itu dalam mimpi, si tuan rumah kedatangan almarhum kakek yang berkata padanya, "Kakek semasa hidup pernah berbuat karma buruk dan secara tak sengaja pernah melanggar sila membunuh serta beberapa karma buruk lainnya maka kini sangat menderita dengan dikerubungi arwah penagih utang yang datang mendesak. Bersyukurlah, ada seorang tamu agung yang kamu undang turut membakar dupa untuk saya. Ia dalah orang terakhir yang maju ke depan. Saat membakar dupa, ia sempat berucap "Pergi! Pergi! Pergi!" dan para penagih utang pun segera pergi membubarkan diri seakan menuruti perintahnya. Kini, kakek berhasil naik ke alam dewa. Untuk itu, berterimakasihlah kepada dewa penolong itu."
Mendapat pesan melalui mimpi dari almarhum kakek, konglomerat itu segera mencari tahu siapakah tamu terakhir yang membakar dupa waktu itu dengan sambil berucap kata-kata "Pergi! Pergi! Pergi!"
Setelah memeriksa daftar tamu, didapati bahwa yang urutan terakhir adalah guru fengshui bernama Lu Sheng-yen.
Mereka tidak yakin Lu Sheng-yen adaah dewa penolong yang dimaksud. Ia hanya seorang guru fengshui yang baru mulai praktek (belum begitu terkenal)
Namun, begitu diperiksa apakah masih ada tamu lain setelah Lu Sheng-yen, ternyata jawabannya nihil.
Si tuan rumah menemuiku dan bertanya, "Sewaktu membakar dupa, kalimat apa yang telah Anda ucapkan?"
"Tak berucap apa-apa," jawabku.
"Yakin?"
Saya tak berani menyembunyikan kebenaran, lalu bercerita jujur padanya, "Waktu itu saya bermaksud membakar dupa, maka memberanikan diri maju ke depan dengan menyebut 'pergi' tiga kali."
"Anda rupanya. Kakek kami sangat berterima kasih pada Anda."
"Terima kasih untuk apa?"
"Terima kasih telah membantu menyeberangkan Kakek ke alam dewa."
"Jangan bergurau. Bagaimana mungkin dengan menyebut 'Pergi! Pergi! Pergi!' bisa membantu menyeberangkan? Seharusnya Anda berterima kasih kepada para bhiksu."
Akhirnya, barulah tuan rumah menceritakan sebab-musabab tersebut. Dan saya pun tercengang mendengarkannya.
Kini setelah dipikir-pikir kembali, mungkin saat mulutku secara tak sengaja bergumam "Pergi! Pergi! Pergi!", di ats kepalaku muncul tiga berkas cahaya, dan itu berarti memancarkan "Titah Sang Buddha" sehingga mampu menghalau para arwah pengganggu!
Mana Ada Lahir Mana Ada Mati
Saya memeriksa octograph (bazi, atau tanggal kelahiran seseorang yang lengkap dengan jam kelahiran) si bayi sambil mengamati wajahnya. Setelah memprediksi lewat ramalan jari, saya bermeditasi sejenak untuk menyelidiki latar belakang karmawarana si bayi.
Saya bertanya pada umat He, "Saya akan memberikan si bayi sebuah nama, tapi Anda tidak menyalahi saya kan?"
"Mahaguru yang memberikan nama untuknya, tentu saya tidak akan menyalahi."
"Baiklah, namanya Heyou."
"Heyou. Nama bagus, nama bagus." Umat He merasa bahagia.
Si bayi tumbuh cerdas dan lincah. Saat menginjak satu tahun, ia sudah sanggup menyapa 'Papa' dan 'Mama', dan mulai dapat berbicara. Ia cukup pintar memahami maksud orang. Semua orang menyukai Heyou, dan selalu memanggilnya 'You'. Dan si bayi pun menyahut dengan suara yang lantang, "You."
Semua orang terhanyut dalam suasana riang gembira bersama si bayi itu.
Ketika menginjak usia dua tahun, tiba-tiba Heyou diserang flu dengan komplikasi penumonia yang tak tersembuhkan. Ia pun meninggal.
Suami-istri He datang menemuiku, "Mengapa Mahaguru tak memberitahu pada kami apa yang akan terjadi pada Heyou?"
Saya hanya terdiam.
"Mahaguru terkenal jitu dalam hal ramalan. Bila diberitahu sejak awal, mental kami akan lebih siap dalam menghadapi kejadian ini!"
Mereka menangis sedu-sedan di hadapanku, sungguh memilukan. Saya turut merasa sedih. Tak ada kata-kata yang dapat kuucapkan. "Ada yang menyesalkan nama yang Mahaguru berikan untuk anak itu. Mengapa mesti Heyou? Heyou berarti mana ada, bukankah itu berarti tidak ada?"
Saya menuliskan sepatah kalimat di atas secarik kertas:
"Mana ada lahir? Mana ada mati?"
"Apa artinya ini?"
"Kelak akan kauketahui!" jawabku.
Kira-kira berselang satu tahun kemudian, suami-stri He kembali dikaruniai seorang bayi laki-laki.
Anehnya, raut wajah anak yang baru lahir ini persis dengan Heyou yang dulu, sama sekali tiada perbedaan. Yang paling aneh adalah di bokong Heyou dan bayi yang baru lahir ini sama-sama memiliki tanda lahir di posisi yang sama dengan ukuran yang sama pula.
Kini rasa sedih dalam hati pasangan suami-istri ini terhapus semua. Menurut mereka, Heyou telah menitis kembali menjadi anak mereka.
Tiba-tiba mereka teringat pada kalimat yang pernah kutuliskan: Mana ada lahir? Mana ada mati? (Tiada kelahiran, dan tiada kematian pula)
Sungguh sebuah kalimat yang bermakna dalam.
Makan, mereka kembali membawa bayi yang baru lahir itu ke tempatku, dan memohon pemberian nama dariku.
Saya berkata pada mereka, "Tidakkah kalian menyalahkan saya?"
"Tidak, sama sekali tidak." Mahaguru memberi nama Heyou karena sudah tahu apa yang akan terjadi. Dan juga kalimat 'Mana ada lahir? Mana ada mati?' yang Mahaguru berikan itu, sungguh mencerminkan kapasitas Mahaguru sebagai seorang peramal nomor wahid."
Saya tertawa mendengarkannya, lalu berkata, "Bagaimana kalau saya berikan nama He Yousheng untuk anak yang satu ini?"
"Ini...."
"Jangan kuatir, kali ini Yousheng, artinya lahir kembali. Ia tak akan mati di tengah jalan. Coba pikir, mana ada lahir dan mana ada mati? Maksudnya, sudah mati toh hidup kembali."
Sambil menggendong bayi mereka yang kedua, pasangan suami-istri itu pulang dengan sukacita.
Dan saya, tetap menorehkan kalimat yang sama di atas secarik kertas, yakni: "Mana ada lahir? Mana ada mati?"
Bagi orang seperti diriku ini, lahir dan mati adalah satu kesatuan tunggal yang tiada bedanya. Boleh dikata, saya sudah melampaui pandangan lahir dan mati. Kelahiran memang patut disyukuri, kematian pun patut disyukuri pula. Tak ada lagi suka atau duka dalam menghadapi kedua peristiwa itu. Tak ada lagi rasa kehilangan atau rasa memiliki, juga tak ada lagi rasa keberhasilan atau rasa kegagalan.
Orang seperti diriku yang hidup bersahaja ini, telah mencapai tingkat 'Tiada lahir dan tiada mati'.
Melihat keluarga yang melahirkan anak, saya berkata, "Mana ada lahir?" Melihat orang meninggal, saya berkata, "Mana ada mati?"
Diriku ini adalah:
Hilir-mudik antara tiga gubuk
Cahaya dewa pencerah alam
Tiada beda antara baik dan buruk
Kilesa duniawi tak lagi menyangkut
Konghucu berkata, "Tanpa memahami makna kehidupan, tak mungkin kita memahami makna kematian."
Saya berkata, "Mana ada lahir? Mana ada mati?"
Mana Ada Lahir Mana Ada Mati
Saya memeriksa octograph (bazi, atau tanggal kelahiran seseorang yang lengkap dengan jam kelahiran) si bayi sambil mengamati wajahnya. Setelah memprediksi lewat ramalan jari, saya bermeditasi sejenak untuk menyelidiki latar belakang karmawarana si bayi.
Saya bertanya pada umat He, "Saya akan memberikan si bayi sebuah nama, tapi Anda tidak menyalahi saya kan?"
"Mahaguru yang memberikan nama untuknya, tentu saya tidak akan menyalahi."
"Baiklah, namanya Heyou."
"Heyou. Nama bagus, nama bagus." Umat He merasa bahagia.
Si bayi tumbuh cerdas dan lincah. Saat menginjak satu tahun, ia sudah sanggup menyapa 'Papa' dan 'Mama', dan mulai dapat berbicara. Ia cukup pintar memahami maksud orang. Semua orang menyukai Heyou, dan selalu memanggilnya 'You'. Dan si bayi pun menyahut dengan suara yang lantang, "You."
Semua orang terhanyut dalam suasana riang gembira bersama si bayi itu.
Ketika menginjak usia dua tahun, tiba-tiba Heyou diserang flu dengan komplikasi penumonia yang tak tersembuhkan. Ia pun meninggal.
Suami-istri He datang menemuiku, "Mengapa Mahaguru tak memberitahu pada kami apa yang akan terjadi pada Heyou?"
Saya hanya terdiam.
"Mahaguru terkenal jitu dalam hal ramalan. Bila diberitahu sejak awal, mental kami akan lebih siap dalam menghadapi kejadian ini!"
Mereka menangis sedu-sedan di hadapanku, sungguh memilukan. Saya turut merasa sedih. Tak ada kata-kata yang dapat kuucapkan. "Ada yang menyesalkan nama yang Mahaguru berikan untuk anak itu. Mengapa mesti Heyou? Heyou berarti mana ada, bukankah itu berarti tidak ada?"
Saya menuliskan sepatah kalimat di atas secarik kertas:
"Mana ada lahir? Mana ada mati?"
"Apa artinya ini?"
"Kelak akan kauketahui!" jawabku.
Kira-kira berselang satu tahun kemudian, suami-stri He kembali dikaruniai seorang bayi laki-laki.
Anehnya, raut wajah anak yang baru lahir ini persis dengan Heyou yang dulu, sama sekali tiada perbedaan. Yang paling aneh adalah di bokong Heyou dan bayi yang baru lahir ini sama-sama memiliki tanda lahir di posisi yang sama dengan ukuran yang sama pula.
Kini rasa sedih dalam hati pasangan suami-istri ini terhapus semua. Menurut mereka, Heyou telah menitis kembali menjadi anak mereka.
Tiba-tiba mereka teringat pada kalimat yang pernah kutuliskan: Mana ada lahir? Mana ada mati? (Tiada kelahiran, dan tiada kematian pula)
Sungguh sebuah kalimat yang bermakna dalam.
Makan, mereka kembali membawa bayi yang baru lahir itu ke tempatku, dan memohon pemberian nama dariku.
Saya berkata pada mereka, "Tidakkah kalian menyalahkan saya?"
"Tidak, sama sekali tidak." Mahaguru memberi nama Heyou karena sudah tahu apa yang akan terjadi. Dan juga kalimat 'Mana ada lahir? Mana ada mati?' yang Mahaguru berikan itu, sungguh mencerminkan kapasitas Mahaguru sebagai seorang peramal nomor wahid."
Saya tertawa mendengarkannya, lalu berkata, "Bagaimana kalau saya berikan nama He Yousheng untuk anak yang satu ini?"
"Ini...."
"Jangan kuatir, kali ini Yousheng, artinya lahir kembali. Ia tak akan mati di tengah jalan. Coba pikir, mana ada lahir dan mana ada mati? Maksudnya, sudah mati toh hidup kembali."
Sambil menggendong bayi mereka yang kedua, pasangan suami-istri itu pulang dengan sukacita.
Dan saya, tetap menorehkan kalimat yang sama di atas secarik kertas, yakni: "Mana ada lahir? Mana ada mati?"
Bagi orang seperti diriku ini, lahir dan mati adalah satu kesatuan tunggal yang tiada bedanya. Boleh dikata, saya sudah melampaui pandangan lahir dan mati. Kelahiran memang patut disyukuri, kematian pun patut disyukuri pula. Tak ada lagi suka atau duka dalam menghadapi kedua peristiwa itu. Tak ada lagi rasa kehilangan atau rasa memiliki, juga tak ada lagi rasa keberhasilan atau rasa kegagalan.
Orang seperti diriku yang hidup bersahaja ini, telah mencapai tingkat 'Tiada lahir dan tiada mati'.
Melihat keluarga yang melahirkan anak, saya berkata, "Mana ada lahir?" Melihat orang meninggal, saya berkata, "Mana ada mati?"
Diriku ini adalah:
Hilir-mudik antara tiga gubuk
Cahaya dewa pencerah alam
Tiada beda antara baik dan buruk
Kilesa duniawi tak lagi menyangkut
Konghucu berkata, "Tanpa memahami makna kehidupan, tak mungkin kita memahami makna kematian."
Saya berkata, "Mana ada lahir? Mana ada mati?"
Perubahan pada Dua Kutub Ekstrim
Misalnya, prestasi saya sewaktu masih di SD sangat buruk, selalu menduduki ranking terakhir. Begitu pula sewaktu di SLTP, saya pernah dua kali ketinggalan kelas. Seperti yang diketahui bahwa saya memang anak dungu yang sering memperoleh angka nol besar.
Tetapi, begitu memasuki SMU, prestasiku malah menjadi yang terbaik: nomor satu.
Mengapa bisa begitu?
(Dan sekarang ini saya telah memiliki kecerdasan prajna Sang Buddha)
Waktu masih kecil, saya adalah seorang umat Kristiani (pernah dibaptis) yang menganggap menyembah berhala itu hal yang sesat, dan agama Buddha itu adalah agama iblis.
Namun, akhirnya saya justru menjadi seorang penganut agama Buddha, menjadi seorang Vajra Acarya, seorang Buddha Hidup (Rinpoche) yang setiap hari bersujud pada patung.
Ini juga perubahan yang terjadi di antara dua kutub ekstrim.
Sepanjang hidupku ini, saya banyak mendapat sorotan dari pelbagai pihak. Saya dikritik habis-habisan, dicaci maki dan dihujat sebagai manusia busuk.
Namun, mereka yang percaya padaku justru memperlakukan saya selayaknya seorang Buddha. Saya dipuja dan disujud sebagai makhluk suci, sebagai dewa yang patut disembah dan dihormati.
Saya sadar bahwa batinku ini saleh.
Dunia luar dan dunia dalam, dua kutub ekstrim yang berketegangan.
Setelah menjalani kehidupan bertapa sekian lama, fisikku sempat mengalami penderitaan. Otakku terbelah menjadi delapan kelopak, catur maha-bhutani mengalami cerai-berai, benar-benar sudah mendekati ambang pintu kematian.
Namun, perlahan-lahan saya kembali membaik dengan kondisi kesehatan yang prima. Setelah diperiksa, semua organ tubuhku dalam kondisi normal. Sungguh gejala yang aneh, orang tua yang berusia 60-an malah memiliki tubuh yang sehat bagaikan umur 20-an.
Sungguh dua kutub yang sangat ekstrim.
Kelihatannya saya ini orang yang suka berkumpul ramai-ramai. Ceramahku selalu penuh dengan sanda-gurau. Demikian pula saat mengerjakan sesuatu, saya selalu aktif dan bersikap optimis terhadap hidup ini. Saya selalu tertawa lepas.
Tapi, ada kalanya saya pun meneteskan air mata. Saya bisa hidup dalam kesendirian di tengah pertapaan selama 3 tahun, bisa juga hidup menyepi lebih lama lagi merasakan hidup yang penuh kesepian. Bahkan hidup menyepi hingga ajalku tiba.
Pujana yang dipersembahkan para umat untukku adalah benda-benda yang amat berharga. Dilihat dari apa yang pernah kumiliki ini, boleh dikatakan saya ini termasuk orang berkarunia mahabesar.
Namun, jarang sekali orang yang tahu bahwa saya sangat hemat dan sederhana dalam menjalani kehidupan ini. Saya orang yang tidak suka pemborosan, tak pernah sekali pun saya berfoya-foya menghamburkan uang, kebiasaan hidupku mirip dengan seorang pengemis. Sungguh di luar dugaan orang!
Dari luar, saya tak lebih dari seorang manusia biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa dibandingkan dengan orang kebanyakan. Di tengah keramaian orang, saya sama sekali tidak menonjol.
Namun, pemahaman dan pengetahuanku terhadap Dharma Buddha sungguh di luar jangkauan orang banyak. Kadang kala malah di luar dugaan orang.
Saya mampu menjelajahi alam spiritual, melintasi dasadica Dharma-dhatu serta bertatap muka dengan Buddha Sakyamuni. Pencapaianku hanya dipahami sesama Buddha.
Hati yang cerah menemukan hakekat diri yang sejati, sebuah pencerahan total yang tuntas.
Saya paham tak ada manusia atau sesuatu hal yang kekal di dunia ini. Kita semua hanya tumpang hidup saja.
Saya juga sadar, keabadian yang sejati hanya ada pada Buddha-gotra. Karena saya telah mencapai Buddha-gotra maka aku adalah Buddha, dan Buddha adalah aku.
Hanya aku yang merupakan keabadian.
Sekarang ini, banyak orang yang tahu dan mengenal diriku, banyak orang berkata bahwa saya adalah orang yang sangat terkenal.
Namun, saya hidup menyepi, tanpa nama. Saya hidup sebagai manusia tanpa nama.
Tema utama dalam Kitab Zhuangzi adalah 'Kebebasan'.
Dan bagi diri seorang Lu Sheng-yen, hanya ada satu kata, yakni 'Buddha'.
Saya berkata, "Manusia pada umumnya hanya memiliki satu karakter, kalau bukan baik, pastilah jahat; kalau tidak positif, pastilah negatif; kalau bukan manusia mulia, pastilah manusia hina; kalau tidak pandai, pastilah pandir."
Tapi, bagi diriku semua sifat itu saya miliki.
Bahkan, diriku sendiri pun tak memahami siapakah diriku ini!
Aha!
Penyeberangan di Tengah Kebakaran
Suatu hari, saat saya berada di ruang altar, terdengar suara orang berteriak, "Mahaguru! Tolong! Kebakaran!"
Saya perhatikan sekeliling ruangan, tak terlihat ada siapa-siapa.
Suara datang dari kejauhan, dan ternyata sampai di telingaku.
Tanpa berpikir panjang, saya segera membentuk Mudra Vajraprakara dan mengarahkannya ke udara.
Vajraprakara ini berbentuk segi empat. Di atasnya kuperkuat dengan Vajrapanjara, dan di bawahnya kubangun lagi sebuah Vajrabumi.
Demikianlah dengan tepat telah memberi simabandhana pada sebuah rumah. Meskipun diriku berada di kejauhan ribuan kilometer, saya tetap memberikan perlindungan simabandhana untuk rumah umat dari jarak jauh.
Selesai berbuat semua itu, hal ini pun sudah kulupakan.
Di kemudian hari, saya baru tahu bahwa telah terjadi kebakaran di sebuah kompleks pertokoan. Salah satu toko di sana adalah milik seorang umat Zhenfo Zong. Ruko umat itu ada di sebelah kiri ruko yang mulai terbakar. Api menjalar ke arah kiri, kelihatannya sudah akan mendekati ruko milik umat itu. Besarnya kobaran api yang dibarengi hembusan angin kencang, sungguh sulit dipadamkan.
Umat yang bernama Lianhua Shaowen itu menyaksikan enam ruko di tetangga sebelah kanannya sudah dilahap si jago merah, hatinya sangat panik.
Maka, berteriaklah ia, "Mahaguru! Tolong! Kebakaran!"
Tak disangka, suara itu terdengar olehku di kejauhan.
Waktu itu, jilatan lidah api sudah mulai mendesak ke ruko Lianhua Shaowen, demikian pula bola api pun mulai menyambar ke arah rukonya.
Dalam waktu singkat, daun pintu dan daun jendela pun sudah mulai gosong terkena pijaran api. Tamatlah sudah semuanya!
Hampir saja Lianhua Shaowen jatuh pingsan, begitu pula tak seorang pun tetangganya yang tidak dicekam rasa risau dan rasa takut.
Dan pada saat itulah, bola api seakan meloncat melewati ruko milik Lianhua Shaowen terjatuh di ruko sebelah kirinya. Satu demi satu roko sebelah kiri pun mulai terbakar.
Sungguh sebuah kejadian yang aneh.
Rumah Lianhua Shaowen seakan terlindungi oleh sesuatu. Bola api yang sudah mendekat ternyata melompat dan menjauh. Seakan berkaki, bola api mampu melompat. Satu-satunya yang tidak kebakaran hanyalah ruko milik Lianhua Shaowen. Bahkan kobaran api pun seakan memadam dengan sendirinya saat menjilat sisi bangunan ruko Lianhua Shaowen. Sungguh aneh!
Tak lama kemudian, ambulan dan armada pemadam kebakaran pun tiba di lokasi.
Mereka segera memadamkan api yang ada di sebelah kanan, lalu menjinakkan si jago merah yang sedang mengamuk di sebelah kiri.
Setelah diselidiki:
Ruko sebelah kanan yang terbakar sebanyak 6 unit, dan yang sebelah kiri sebanyak 3 unit.
Sedangkan, ruko milik Lianhua Shaowen sama sekali tak tersentuh oleh api. Genteng saja masih utuh, tampak masih kokoh. Hal ini membuat tetangga terheran-heran, dan petugas pemadam kebakaran pun merasa aneh.
Lianhua Shaowen sempat mengirim sepucuk surat ucapan terima kasih ke Mandalasala Satya Buddha.
Dalam balasan surat saya tuliskan sebuah syair, sebagai berikut:
Kobaran api sungguh mengejutkan
Upaya pemandaman selalu terlambat
Sungguh sebuah derita rakyat jelata
Tak ada yang mengenal dewa penyelamat
Membentuk mudra melakukan simabandhana
Dewa api mengamuk
Menyisakan satu rumah
Adakah Para Buddha berada di balik awan
Kerbau Merah Pemakan Teratai Kertas
Suatu malam, LIanhua Huayang mengalami mimpi yang aneh. Dalam mimpi, ia melihat seekor kerbau raksasa yang kelihatannya sangat lapar. Dengan buasnya, ia melahap bunga-bunga teratai kertas yang ada di sekelilingnya. Dan bunga teratai yang ada dalam mimpi itu bukan dibuat dari kertas biasa, tetapi dari lembaran uang kertas.
Ada tiga hal istimewa dalam mimpi ini.
Pertama, umumnya hewan jenis ini adalah lembu (berwarna hitam), sapi (berwarna kuning), dan yak. Jarang sekali ditemukan yang berwarna merah.
Kedua, umumnya hewan jenis ini pemakan rumput. Kerbau merah ini tidak makan rumput, tapi makan bunga teratai.
Ketiga, teratai kertas itu terbuat dari lembaran uang kertas.
Lianhua Huayang merasa aneh dengan mimpi ini. Pada malam berikutnya, kembali ia mengalami mimpi yang sama. Batinnya bingung, jangan-jangan mimpi ini petanda sebuah petunjuk. Oleh sebab itu, ia datang minta petunjuk padaku.
Saya coba memberi arti, "Dalam waktu dekat ini, bila ada orang yang bermaksud meminjam uang dari Anda, jangan diberikan. Terutama yang bermarga Hong atau Niu."
Lianhua Huayang menjadi sangat hati-hati.
Suatu hari, seorang kerabat yang kebetulan bermarga Hong bertandang ke rumahnya. Nama lengkap orang itu adalah Hong Te.
Belakangan diketahui, bahkan aksara te dalam bahasa klasik bermakna sapi jantan. Ada sebait kalimat cuplikan dari sastra klasik berbunyi demikian, "Qin Wengong menumbangkan pohon zi, pohon tersebut menjelma menjadi sapi, lalu sapi itu terhanyut di Sungai Feng, dan Qin mendirikan rumah duka untuk te."
Demikian pula dalam sastra Lieyi Jing juga menyebutkan bawa te adalah sapi jantan.
Kerabat yang bermarga Hong ini menyatakan ingin meminjam uang.
Teringatlah Lianhua Huayang pada pesan Mahaguru maka dengan amat diplomatis ia katakan harus berunding terlebih dahulu dengan istri.
Namun, si istri justru berkata, "Hong Te adalah kerabat lama, selama ini ia cukup berhasil berniaga di perantauan. Banyak sekali pabrik yang ia bangun, juga aset propertinya tersebar di mana-mana. Ia tinggal di perumahan mewah dengan mobil bermerek. Sekarang, ia berencana membangun Hypermarket termegah, tentu saja ia butuh dana pinjaman. Bunga yang ia tawarkan cukup menarik. Saya kira takkan ada risiko kalau kita berikan pinjaman padanya."
Mendengar kata-kata si istri, tergeraklah hati Lianhua Huayang. Dengan memberikan pinjaman selama setengah tahun, modalnya akan menjadi lipat ganda. Kalau satu tahun berarti akan menjadi beberapa kali lipat.
Maka, bersiap-siaplah suami-istri Lianhua Huayang meminjamkan seluruh milik mereka pada Hong Te.
Malam hari itu kembali Mahaguru memberi petunjuk melalui mimpi, "Jangan pinjamkan uang pada orang yang bermarga Hong atau Niu."
Lianhua Huayang bertanya pada si istri, "Sebaiknya bagaimana?"
"Mimpi itu ilusi, jangan dipercaya," ujar si istri.
Kemudian, diberikanlah seluruh tabungan mereka kepada Hong Te sebagai pinjaman untuk membangun Hypermarket.
Tak lama berselang, Lianhua Huayang berkunjung ke rumah Hong Te. Ternyata, pintu terkunci rapat. Begitu juga kondisi di pabrik miliknya, tak seorang pun di sana. Lalu, ia datangi lokasi yang direncanakan untuk membangun Hypermarket, ternyata sama sekali tidak ada kegiatan apa-apa di sana, hanyalah sebuah ekskavator tergolek di sebuah sudut.
Berita di media massa berbunyi demikian:
"Hong Te membawa kabur uang pinjaman dari bank dan partikulir lainnya. Nilai sahamnya di bursa anjlok tak berharga."
Orang-orang yang telah menjadi korban tak berdaya, satu-satunya jalan pelampias amarah adalah melempari rumah Hong Te dengan telur busuk.
Demikian pula keadaan suami-istri Lianhua Huayang. Menyesal kemudian sudah terlambat, tinggal kesedihan mendalam yang mengiringi hari-hari mereka.
Memetik pengalaman yang amat berharga ini, Lianhua Huayang menjadi sangat berhati-hati dalam urusan uang. Dan, ia juga semakin yakin dan percaya pada pesan-pesan yang diberikan Mahaguru melalui mimpi.
Dalam pengertian Lokyatara, hati manusia amatlah sulit diterka, maka berhati-hatilah mencari kawan, hindarilah orang yang beretika jahat.
Secara Lokuttara, hidup manusia di dunia saha ini amatlah singkat. Kekayaan dan kejayaan laksana awan yang melayang, sekejap saja sudah berlalu. Dalamilah Dharma dan tekunilah sadhana, jalan menuju pembebasan dari lingkaran tumimbal lahir akan mendatangkan keberhasilan yang sempurna.
Saya membimbing Lianhua Huayang melaksanakan sadhana dengan metode Hati dalam Hati. Dan, ternyata di kemudian hari, ia memang berhasil meraih kemajuan dengan mencaai tingkat Anagamin. Dalam waktu tak berapa lama lagi, niscayalah ia akan mencapai tingkat Arahat.
Tingkat Arahat adalah sesuatu yang tak ternilai harganya. Harta kekayaan yang hilang kemarin menjadi amat tak berarti dibanding tingkat Arahat yang dicapainya.
Tanah Longsor yang Terjadi di Tengah Malam
Yang patut dikagumi adalah di rumah mewahnya itu tersedia sebuah ruangan yang khusus diperuntukkan sebagai mandalasala. Umat ini setiap hari meluangkan waktu melakukan puja bakti di mandalasala. Demikianlah ia melakukan hal tersebut secara rutin tanpa lalai.
Keluarga Lianhua Qida sangat harmonis. Perusahaan yang digelutinya sedang naik daun. Ia pribadi adalah seorang umat Buddha yang taat beragama. Ia juga selalu aktif dalam kegiatan sosial, dan tak pernah ketinggalan dalam aktivitas pengumpulan dana. Oleh karena itu, ia telah dijuluki dengan sebuah sebutan harum, yakni Sang Dermawan.
Lianhua Qida sudah berhasil mengupayakan:
Di antara sarve bhava saya berada
Sadhana pubba dan prajna mencapai apramana
Sila, samadhi, dan vimoksa
Guna garbha telah tercapai
Demikian pula ia telah berhasil melakukan:
Dengan Manju Padma Malikka
Vadya, vilepana, serta chattra
Demikianlah persembahan mahavyuha
Dipersembahkan bagi para Tathagata
Tetapi, LIanhua Qida juga menyadari bahwa walaupun dirinya telah memiliki segala-galanya, tetap saja ia takkan luput dari kecelakaan atau marabahaya yang mungkin terjadi dalam kehidupan ini. Sehingga ia pun giat melakukan pertobatan sambil mengucap "Atas segala perbuatan buruk yang pernah kulakukan di masa-masa lalu yang semuanya berakar dari sifat moha, dosa, dan lobha, yang ditimbulkan dari ucapan, pikiran, dan perbuatan, kini saya menyesali semuanya dan menyatakan bertobat."
Suatu malam, ia bermimpi Mahaguru Lu Sheng-yen datang kepadanya untuk memberi tahu bahwa besok malam akan terjadi bencana besar yang menimpa tempat tinggalnya. Ia dipesan segera menyingkir dari tempat tinggalnya agar terhindar dari malapetaka.
Tidak sebagaimana biasanya wajah Mahaguru yang penuh senyum, kali ini Mahaguru memperlihatkan wajah yang penuh keseriusan saat mengabari Lianhua Qida perihal bencana tersebut.
Lianhua Qida merasa bingung dan risau ketika bangun dari tidur. Yang hadir dalam mimpinya itu jelas Mahaguru. Suaranya, wajahnya, begitu meyakinkan. Mau tak mau ia harus mempertimbangkan dengan waspada.
Mungkinkah itu gempa bumi? Rasanya tidak. Kalau gempa bumi, maka yang terkena adalah seluruh wilayah.
Mungkinkah itu bencana banjir? Rasanya juga tidak karena rumah tinggalnya berada di ketinggian pegunungan.
Mungkinkah itu bencana kebakaran? Boleh jadi, tapi asal kewaspadaan ditingkatkan masih bisa diatasi.
Mungkinkah itu bencana badai? Tidak mungkin karena sama sekali tidak ada kabar berita tentang kemungkinan akan terjadinya badai.
Atau, mungkinkah kecelakaan yang lain........?
Kehabisan akal Lianhua Qida menganalisis makna pesan yang disampaikan lewat mimpi itu. Itu jelas sebuah mimpi yang disampaikan dengan maksud tertentu, sungguh jelas. Kalau dikatakan itu cuma mimpi biasa-biasa saja, sepertinya juga bukan.
Di saat ia merasa bimbang, datanglah si istri memberi tahu, "Semalam saya bermimpi kedatangan Mahaguru. Beliau memberitahu saya bahwa segera akan terjadi bencana besar di rumah kita ini. Sebaiknya kita mengungsi dulu dari sini, agar terhindar dari bencana."
Lianhua Qida terperanjat mendengar penuturan dari istrinya. Suami-istri mengalami mimpi yang sama, mau tak mau harus dipercaya. Oleh karena itu, sekeluarga bergegas membenahi benda-benda berharga yang mudah dibawa dari rumah untuk menuju sebuah hotel di bilangan kota dengan mengendarai mobil pribadi. Rencana mereka hanya menginap satu malam. Kalau tidak terjadi apa-apa dengan rumah mereka, maka mereka akan kembali ke rumah. Lebih baik percaya daripada tidak.
Malam hari itu, mereka memantau rumahnya dari jauh. Hujan yang sudah lama tak kunjung datang, tiba-tiba saja turun dengan deras disertai kilatan petir dan gemuruh yang menggeleterkan telinga. Tak kurang dari empat jam hujan mengguyur kawasan itu dengan derasnya. Bukan hujan rintik-rintik yang berlangsung selama empat jam, tetapi hujan deras bagai diguyur dari langit membuat banyak tempat tergenang air.
Rumah milik LIanhua Qida yang dibangun di daerah pegunungan itu digempur bertubi-tubi oleh guyuran air hujan yang amat deras. Tanah di belakang pegunungan tiba-tiba ambles dan longsor tak kuat menahan gempuran air hujan. Akibatnya, sekitar tujuh bangunan rumah mewah di kawasan itu lenyap terkubur oleh tanah longsor.
Keesokan harinya, liputan TV melaporkan bahwa telah terjadi longsoran tanah di daerah pegunungan dengan menelan tujuh bangunan rumah yang ada di sana serta mengubur hidup-hidup 36 orag penghuni rumah setempat. Pihak kepolisian sudah mengamankan lokasi tersebut. Upaya evakuasi terhadap para korban sedang dilakukan.
Dalam tayangan itu juga dilaporkan bahwa satu keluarga pemilik salah satu rumah yang terkubur di daerah pegunungan itu beruntung sedang berlibur di kota sehingga terhindar dari bencana yang mengerikan itu.
Lianhua Qida tentu saja sangat berterimakasih kepada Buddha Hidup LIan Sheng Lu Sheng-yen. Melalui mimpi, Mahaguru telah menyelamatkan nyawa mereka sekeluarga.
Namun, kepada tetangga yang menjadi korban pada musibah tersebut, Lianhua Qida menyimpan rasa bersalah pada mereka.
Semenjak tu, semakin kuatlah keyakinan Lianhua Qida kepada Mahaguru. 'Mampu melenyapkan penderitaan lahir dan mati dan segenap marabahaya', demikianlah keyakinan tersebut kembali terbukti.
Tumor Besar di Kepala
Sang Ibu berkata, "Mahaguru Lu, saya membaca buku Anda, Anda pernah menjamah tumor seorang anak dengan tangan, dan tumor anak ini menghilang dalam sekejap, benarkah itu?"
Saya berkata, "Ya."
Sang Ibu sangat gembira, "Hari ini, saya menggendong anak saya, dari jauh datang untuk bertemu Anda, mohon Anda jamah juga dengan tangan Anda, hilangkan tumor besar pada anak saya!"
Saya berkata, "Ini mustahil."
Sang Ibu bertanya, "Di dalam buku Anda tertulis, bahkan ada bukti berupa foto. Mengapa hari ini justru tidak bisa?"
Saya berkata, "Kedua anak itu beda, keduanya mempunyai tumor dan karma yang berbeda, makanya tidak bisa."
Sang Ibu bertanya, "Apa karma dari anak saya ini?"
Saya berkata, "Saya melihat kehidupan lampau anak ini, dalam suatu kehidupan, ia pernah menjadi seorang bos mafia, ia menindas orang baik, setiap orang yang ia tidak senangi, ia pun membakar batangan besi sampai merah, kemudian dicap di atas kepala orang lain, orang yang dicap berteriak histeris, lalu pingsan, selamanya meninggalkan bisul di kepala. Itu sebabnya, dalam kehidupan sekarang, ada tumor di atas kepala anak ini, selamanya tinggal di atas kepala, bahkan saya pun tidak dapat menghilangkannya."
Sang Ibu juga percaya karma, Sang Ibu berkata, "Karena itu penyakit karma, memang sulit juga, namun, saya dengar orang lain berkata bahwa Buddhadharma tak bertepi, Agama Buddha juga welas asih, apakah ada cara untuk menyingkirkan kebencian dan kesalahan dalam kehidupan lampau?"
Saya berkata, "Saya menghargai "SUTRA RAJA AGUNG AVALOKITESVARA", Anda cetak dan bagi-bagikan saja sutra ini kepada orang lain, panjatkan juga Sutra ini 1000 kali, limpahkan jasanya kepada anak Anda. Di dalam Sutra ini dikatakan bahwa memanjatkan genap 1000 kali, karma berat pun sirna, ketika Anda mencetak dan membagi-bagikan Sutra ini, kemudian japa 1000 kali, saya akan jamah kepala anak Anda!"
*
Setelah Sang Ibu kembali, sesuai pesan saya, ia mencetak dan membagi-bagikan "SUTRA RAJA AGUNG AVALOKITESVARA BODHISATTVA" sebanyak ribuan eksemplar.
Sang Ibu juga sepenuh hati memanjatkan "SUTRA RAJA AGUNG AVALOKITESVARA BODHISATTVA" genap 1000 kali.
Tepat saat memanjatkan genap 1000 kali, di dalam mimpi, ia benar-benar melihat Mahaguru Lu datang, Mahaguru Lu menjamah tumor besar di kepala anak tersebut.
Di dalam mimpi, ia bahkan mendengar Mahaguru berkata:
Hentikanlah setelah memahami karma.
Apalah artinya kulit dan daging yang tertinggal ini.
Singkirkanlah dendam dan simpul kebencian.
Dari dulu hingga sekarang cinta dan benci akan damai dengan sendirinya.
Sejak bermimpi Mahaguru Lu menjamah kepala anaknya, tumor besar itu pun semakin menyusut, mengecil dari hari ke hari, Sang Ibu lebih rajin lagi memanjatkannya, tumor besar tersebut mengecil, tumor kecil menghilang, sekarang kepala si anak seperti kepala orang biasa.
Sang Ibu melayangkan surat menghaturkan terima kasih.
Saya berkata, "Dosa dan berkah adalah sama, timbul dan tenggelam laksana ilusi!"
Lianhua Yizu
Di dalam meditasi yang mendalam, saya berjumpa dengan teman lama saya, "Raja Yama", "Raja Yama" membawa saya ke objek wisata terbesar di neraka, objek wisata ini adalah istilah zaman sekarang. Yakni "Cermin Dosa" neraka yang terkenal itu, menurut mitos di dunia ini, "Cermin Dosa" hanya satu saja, sebenarnya ada 5, antara lain:
1. Cermin masa lampau.
2. Cermin masa sekarang.
3. Cermin masa depan.
4. Cermin ramalan.
5. Cermin pemandangan lokal.
Saya bertemu dengan "Raja Cakravartin", "Raja Cakravartin" sangat hormat pada saya.
"Raja Cakravartin" bertanya pada saya, "Mahaguru Lu, apa yang ingin Anda lihat?"
Saya menjawab, "Saya ingin lihat Lianhua Yizu."
Raja Cakravartin terlebih dahulu membuka "jendela timur", begitu saya lihat benar-benar dunia teratai Zhenfo, merah, kuning, putih, biru, jingga, hijau...., teratai beragam warna bermekaran, di atasnya ada Padmakumara, 18 Padmakumara besar, 500 Padmakumara sedang, jutaan Padmakumara kecil, sehampar sinar kemujuran, indah sekali.
Raja Cakravartin buka lagi "jendela selatan", begitu saya lihat, tampaklah mandala "Arama Nanshan" tempat tinggal saya, melihat diri saya memasuki samadhi dalam posisi duduk bersila di mandala, kedua mata saya terpejam rapat, napas saya sangat halus, persis gambar Mahaguru Lu dalam kondisi tubuh maya keluar dari puncak kepala.
Raja Cakravartin buka lagi "jendela barat", saya melihat Lianhua Yizu dari Zhenfo Zong, makmur sentosa, berlaksa-laksa teratai dengan beraneka warna mekar secara serentak, insan yang diseberangkan berjumlah triliunan, tak terhitung lagi, di dalam lubuk hati saya terasa bahagia dan terhibur.
Raja Cakravartin buka lagi "jendela utara", saya terkejut sekali begitu melihatnya, karena saya melihat 18 kuntum teratai besar, tinggal 15, ke mana 3 teratai lainnya? Hanya tampak teratai layu dan menggenaskan.
Saya bertanya pada Raja Yama, "Delapan belas kuntum teratai besar, mengapa hanya tinggal 15 kuntum?"
Raja Yama menjawab, "Delapan belas kuntum teratai besar menitis di dunia Saha, namun, 3 kuntum lainnya, disesatkan oleh hal-hal duniawi, nama dan keuntungan menyelimuti hati mereka, ketiga kuntum teratai besar menjadi penghuni neraka, mereka tidak dapat kembali lagi ke alam surga, mereka akan menderita selamanya di neraka."
Saya terbahak-bahak.
Raja Yama menjawab, "Sebenarnya Dunia Saha adalah istana ilusi, meski Mahasattva pun mudah kehilangan jatidiri dan terperosok ke dalam lumpur. Neraka memang telah mengurung banyak Mahasattva, siswa Mahaguru Lu, Lianhua Yizu memang paling berharga, Anda sudah sangat beruntung hanya kehilangan 3 kuntum teratai besar."
Raja Yama berkata:
Seluruh tentara Suku Asura telah hilang.
Suku Yaksa tinggal seorang saja.
Suku Navagraha kehilangan 6 dewa bintang.
Suku Empat Raja Langit kehilangan lebih banyak lagi.
Suku para dewa setengah-setengah.
Suku teratai kehilangan tiga kuntum teratai besar.
Begitu saya mendengarnya, sungguh mengejutkan! Saya juga sedih sekali demi tiga kuntum teratai besar ini.
Saya bertanya, "Bagaimana menolongnya?"
Raja Yama menjawab, "Hanya dengan mencerahi Dao."
Saya berkata, "Saya berada dalam ilusi, saya juga tahu ini ilusi, sehingga sekuat tenaga memahami ilusi, dan sekuat tenaga membebaskan diri dari ilusi."
Raja Yama berkata, "Ini adalah kekuatan di luar dugaan!" Lanjut, "Di luar dugaan adalah orang yang mencapai pencerahan sejati."
Saya berkata, "Kini, bagaimana dengan 3 kuntum teratai besar?"
Raja Yama berkata, "Mereka menipu diri sendiri dengan menganggap ilusi itu nyata."
Raja Cakravartin membuka lagi "cermin pemandangan lokal" yang ada di tengah, begitu saya lihat, di dalamnya adalah "Sang Buddha". (Buddha Amitabha)
Tubuh Buddha Amitabha berwarna keemasan
Cahaya kebajikan tiada tara
Cahaya putih yang terang berputar di lima semeru
Mata yang halus bagai empat samudera jernih
Di tengah cahaya menjelma ratusan juta Buddha tak terhitung
Juga menjelmakan para Bodhisattva yang tak terhingga
Empat puluh delapan ikrar menyeberangkan insan
Sembilan tingkat keberhasilan serentak mencapai pantai seberang
Tathagata Amitabha ini adalah Tathagata Amita-prabha, Tahagata Ananta-prabha, Tathagata Anantarya-prabha, Tahagata Apratisama-prabha, Tathagata Prabhapradipta-prabha, Tathagata Parisuddhi-prabha, Tathagata Mudita-prabha, Tathagata Prajna-prabha, Tahtagata Nityasrsta-prabha, Tahtagata Acintya-prabha, Tathagata Apaja-prajna, Tathagata Niryana-suryacandra-prabha.
Hanya di alam suci Buddha Amitbha -- Sukhavatilah terdapat 8 lapis videka dari 4 ratna, 7 lapis jala, 7 lapis tala-parikibhih, 7 kolam pusaka, 8 paniya, 7 ratnakuta, teratai besar, sedang, dan kecil yang menebarkan keharuman menakjubkan, musik surgawi, .....
Raja Yama berkata, "Ini adalah Mahaguru Lu!"
Saya terdiam.
Saya tentu tahu siapa saya.
Sajak:
Cahaya cemerlang di alam barat.
Perjamuan digelar di kolam suci.
Sukhavati paling menyenangkan.
Abadi selamanya.
Topan "Fengshen"
Tanggal 3 Mei 2008, di "Stadium Linkou" Taoyuan, Taiwan, saya menyelenggarakan Upacara Akbar Kalachakra yang dihadiri 30 ribu orang.
Pada pertengahan Juni 2008, di Filipina terbentuk sebuah topan besar, diberi nama "Fengshen" (Dewa Angin).
Menurut laporan BMG, kekuatan Topan Fengshen ini perlahan-lahan dari kecil, sedang, kemudian besar. Rutenya dari Pulau "Luzon" dan bertiup ke Selat Taiwan. Bagian barat Taiwan, dari selatan hingga ke utara akan berada dalam radius badai.
..............
Saya mendengar seseorang berkata, "Topan Fengshen tidak memberi muka pada Mahaguru Lu, baru berselang 1 bulan saja, sudah datang topan besar."
"Upacara Kalachakra baru usai, sudah bertiup topan besar, Dharmabala dari upacara sama sekali tidak berfungsi."
"Topan Fengshen sengaja datang membuat kekacauan."
"Fengshen bertiup ke Pulau Luzon, sehingga di Pulau Luzon berjatuhan banyak korban, kondisinya sangat menggenaskan, dan menderita kerugian yang sangat parah."
"Fengshen akan menyelimuti seluruh Taiwan."
*
Saya sedih.
Dharmabala upacara akbar Kalachakra tiada tara, mengapa baru sebulan sudah datang topan besar?
Bagaimana saya mencegah topan sebesar ini? Selamatkan kampung halaman saya.
Saya membaca "Buku Langit".
Di atasnya tertulis kata: "Vayu".
"Tubuh maya" saya keluar, terbang ke arah barat laut sambil menjapa nama "Vayu":
"Fuyefei! Fuyefei" Fuyefei"
Saya bertemu dengan "Dewa Vayu".
Dewa Vayu bertubuh merah hitam, bertubuh tinggi besar, salah satu dari lima surga barat, tangan kanan memegang tongkat, tangan kiri menekan pinggang, chattra/panji berkibar-kibar.
Saya bertanya, "Apakah Topan Fengshen akan menerjang Taiwan?"
Dewa Vayu menjawab, "Ya."
Saya bertanya, "Apakah akan berubah haluan?"
Dewa Vayu menjawab, "Tidak."
Saya berkata, "Kalau begitu, Anda tidak memberi muka pada upacara Mahaguru Lu?"
Dewa Vayu berkata, "Badai petir di dunia ini mengucurkan gunung air dan api, semua bekerja sesuai titah dari Kaisar Langit, jarang sekali dapat dilawan."
Saya berkata, "Saya memiliki titah Sang Buddha, Yaochi Jinmu, dan Tuan Sanshan Jiuhou, apakah ini masih belum bisa?"
Dewa Vayu terkejut sekali begitu mendengarnya. Ia diam-diam memberitahu saya, "Mahaguru Lu cukup sembahyang altar Vayu."
"Sehingga, di sudut barat daya dari mandala, aksara "__", pasang sebuah pelita, kemudian, melakukan ritual, kemudian pelita dipadamkan."
Aneh juga, "Topan Fengshen" keluar dari "Pulau Luzon", berubah menjadi lemah, hilang tanpa bentuk, hanya tinggal siklon tropis, "Topan Fengshen" reda.
Sajak:
Fengshen bagai perempuan garang.
Saya adalah guru dewa dan manusia.
Lekas jalankan perintah.
Membuyarkan bola mata angin.
Dewa Wabah Lima Penjuru
Tiba-tiba, "Istana Yama" menjadi hiruk pikuk, tak disangka, seketika, ribuan orang menyerbu masuk.
Raja Yama bertanya pada prajurit setan, "Apa yang terjadi?"
Prajurit setan menjawab, "Dunia manusia terjadi wabah, seketika tewas manusia sebanyak ini."
Raja Yama bertanya pada saya, "Mahaguru Lu, tahukah Anda sebesar apa pahala Anda?"
Saya menjawab, "Tidak tahu."
Raja Yama berkata, "Pahala Anda sebesar langit!"
Saya agak heran, apaan pahala sebesar langit, saya tidak pernah memikirkannya.
Raja Yama berkata, "Suatu tahun, Kaisar Langit menitahkan Dewa Wabah Lima Penjuru turun serentak ke dunia manusia, dunia manusia akan mengalami bencana terbesar selama beribu-ribu tahun terakhir, Dewa Wabah Lima Penjuru ini bukan dewa biasa, mereka akan memberesi lebih dari separuh jumlah umat manusia, bahkan meluas hingga seluruh dunia, manusia di seluruh dunia ketakutan."
Raja Yama melanjutkan, "Waktu itu kebetulan Anda tengah menyepi, demi menyelamatkan para insan, Anda naik ke Alam Suci Yaochi, mengambil buntelan suci Yaochi Jinmu dan turun ke Dunia Saha, dengan buntelan suci menarik kembali Dewa Wabah Lima Penjuru. Wabah itu tadinya akan memberesi umat manusia, baru sebentar saja sudah hilang tanpa jejak, tadinya itu bencana besar umat manusia, tapi semuanya telah Anda selamatkan sekaligus."
Saya berkata, "Memang ada kejadian demikian. Namun, saya kira itu hanya sebuah wabah kecil saja, umat manusia bisa mengendalikan sendiri, bukan jasa dari buntelan suci Yaochi Jinmu, benarkah itu bencana besar umat manusia?"
Raja Yama menjawab, "Tadinya Kaisar Langit mau separuh umat manusia binasa baru sudi berhenti, tapi justru telah Anda tolong secara tak disengaja. Kaisar Langit memandang wajah emas Yaochi Jinmu, sehingga meredakan sebuah bencana. Memangnya Anda tidak tahu bahwa Anda memberesi Dewa Wabah Lima Penjuru dalam waktu seketika?"
Saya merinding, sungguh tidak berani percaya.
Raja Yama berkata, "Karena dunia manusia ada Anda, Anda bahkan menyuruh siswa Anda menjapa Mantra Peredam Bencana, dengan adanya buntelan suci Yaochi Jinmu dan Mantra Peredam Bencana, krisis umat manusia ini barulah reda."
Saya terbelalak dan menganga.
Raya bertanya pada Raja Yama, "Mengapa Kaisar Langit mau membinasakan umat manusia?"
Raja Yama menjawab, "Kaisar Langit melihat hati umat manusia makin lama makin egois, makin lama makin bodoh, makin lama makin kotor, semua pikiran yang terlintas adalah dosa. Apalagi umat manusia membunuh, mencuri, berjinah, dan berdusta, mereka semua tidak tahu malu, itu sebabnya, Kaisar Langit murka, sehingga menurunkan bencana!"
Saya berkata, "Di dunia manusia ini masih banyak orang suci yang menjalankan ajaran welas asih!"
Raja Yama berkata, "Minoritas."
Saya berkata, "Selain itu, Buddhadharma dibabarkan besar-besaran agar dapat menyeberangkan umat manusia!"
Raja Yama berkata, "Itu hanya luar saja."
"Mengapa hanya luar saja?" tanya saya.
"Nama dan keuntungan belaka," jawab Raja Yama. Beliau melanjutkan, "Di antara langit dan bumi, luasnya dunia ini, orang yang benar-benar cerah tidak seberapa, Anda Mahaguru Lu adalah salah satunya, sayang segigih apapun Anda, umat manusia tidak melihatnya, dan fitnah justru bertambah dan tidak berkurang, seorang Buddha sejati yang telah cerah dan menyaksikan kebenaran, dihina sedemikian rupa oleh manusia, lumrah kalau Sepuluh Raja Yama pun murka."
Saya terbahak-bahak, "Dari dulu sampai sekarang memang seperti itulah."
Raja Yama bertanya, "Mengapa umat manusia begitu buta, orang yang munafik dielu-elukan secara membuta, orang yang telah cerah dihina secara keji?"
Saya berkata, "Bagaimanapun dunia manusia ini, orang yang telah cerah ibarat Sang Buddha, jarang sekali ibarat bintang pada siang hari, sementara orang yang belum cerah, sebanyak pasir di Sungai Gangga, dipikir-pikir, pada dasarnya memang begitu, buat apa marah."
Raja Yama mengangguk, "Tak heran orang yang naik ke surga sedikit, orang yang turun ke neraka, sebanyak ikan yang mengarungi sungai."
Saya bertanya, "Kapan wabah di dunia manusia ini bisa reda?"
Raja Yama menjawab, "Selama manusia tidak ada pikiran positif, tidak akan reda selamanya."
Saya bertanya, "Akankah Dewa Wabah Lima Penjuru turun lagi?"
Raja Yama menjawab, "Karena Anda Mahaguru Lu ada di dunia Saha, Dewa Wabah Lima Penjuru takut pada Anda, dengan sendirinya mereka tidak akan turun lagi, namun, begitu Anda kembali ke langit, Dewa Wabah Lima Penjuru pasti akan turun, saat itu umat manusia pun binasa."
Sajak:
Hati manusia ibarat ular dan kalajengking.
Kaisar Langit murka.
Hanya memohon pada maha-arya.
Menetap selamanya di dunia manusia.
Mencari Zheng Chenggong
Saya pikir, Zheng Chenggong adalah putra dari Zheng Zhilong, ayah dari Zheng Jing, kakek dari Zheng Geshuang, Zheng Chenggong adalah pahlawan yang mengambil kembali Taiwan. Untuk menemukan reinkarnasi dari Zheng Chenggong, seharusnya tidak sulit, itu sebabnya, saya tidak melihat ke dalam "Kitab Langit", namun, saya mencari Zheng Chenggong lewat "tubuh maya".
Setelah "tubuh maya" keluar, saya mencari dari atas ke bawah, lebih dulu ke Catur-arya Dhatu, antara lain: Buddha, Bodhisattva, Pratyeka, dan Sravaka. Di keempat Catur-arya Dhatu ini tidak ditemukan Zheng Chenggong.
Saya pergi ke Arupadhatu, Zheng Chenggong tidak ditemukan.
Saya pergi ke Rupadhatu, Zheng Chenggong juga tidak ditemukan.
Saya pergi ke Karmadhatu, bahkan Karmadhatu pun tidak ditemukan, ini membuat saya heran.
Sehingga saya mencari di alam dewa ---
Raja Naga.
Raja Yaksa.
Raja Asura.
Raja Garuda.
Raja Raksasa.
Dewa tanah, air, api, dan angin.
Dewa petir.
Dan lain sebagainya.
Alhasil yang mengherankan, tak disangka "alam dewa" pun tidak ditemukan Zheng Chenggong (Raja Yan-ping).
Saya cari lagi "Dewa Penunggu Bumi", antara lain: Dewa Kota, Penguasa Lingkungan, Dewa Bumi, Dewa Gunung, Dewa Sungai, Dewa Danau.....
Tetap tidak ada.
Saat ini, saya tidak sabar lagi, jangan-jangan bersembunyi di dalam "Dewa Lokal", misalnya:
"Kai Zhang Sheng Wang", "Wu Fu Qian Sui", "Tian Shang Sheng Mu", "San Shan Guo Wang", dan lain-lain.
Saya pikir "Raja Yan Ping" adalah "Dewa Lokal", pasti tidak salah lagi. Pasti bisa ditemukan.
Namun, tetap tidak ada.
Akhirnya tak berdaya, saya mencari di "Alam Siluman" lewat "tubuh maya". Misalnya "Jianzi Gong", "Baixing Gong", "Youying Gong", "Wanshan Gong", "Shibawang Gong", "Xiangong Ma".
Lagi-lagi tidak ada.
Saya agak kecewa, saya mencari dari alam tertinggi hingga "Alam Siluman" pun tidak ditemukan bayangan Zheng Chenggong, saya mencari ke:
"Kelenteng Kaitai Shengwang", dewa utama adalah Zheng Chenggong, namun, ternyata bukan Zheng Chenggong, tapi bermarga "Shi".
Saat ini, saya teringat "Suku Mara", jangan-jangan Zheng Chenggong masuk ke "Suku Mara", Zheng Chenggong adalah pahlawan bangsa, mengapa bisa masuk ke "Suku Mara"? Ini tidak mungkin.
Namun, saya tetap mencari, tak disangka, di dalam "Suku Mara" pun tidak ada, tidak ada Zheng Chenggong.
Saya pikir, saya mencari seorang Zheng Chenggong (Raja Yan-ping) yang tersohor lewat "tubuh maya", pasti bisa ditemukan, namun, di luar dugaan, ternyata tidak ditemukan. Akhirnya, lebih baik saya membaca kitab langit, di kitab langit tertulis "Alam XX". Saya kaget sekali, saya bertanya pada Anda semua apakah "Alam XX" tersebut? Mohon renungkanlah.
Sajak:
Keheningan berjalan di kegelapan lilin
Mencari orang lewat tubuh maya.
Ternyata ada karmanya.
Kebencian ini memang tak berkesudahan
Mendengar Isak Tangis Wanita
Jarak antara Ling Shen Ching Tze dan "Zhenfo Miyuan" tidak terlalu jauh, namun, suara di Zhenfo Miyuan tidak terdengar di Ling Shen Ching Tze, demikian pula sebaliknya.
Saya bertanya pada Lama, "Siapa yang menangis di dalam vihara?"
Begitu para lama mendengar pertanyaan saya, semuanya kebingungan.
Saya bertanya lagi, "Siapa wanita yang menangis di dalam vihara?"
Saat ini baru ada seorang lama menjawab, "Akhir-akhir ini selama beberapa hari, selalu ada seorang wanita datang ke Ling Shen Ching Tze setelah tengah hari, kemudian terisak-isak sebentar di hadapan Buddha dan Bodhisattva, lalu duduk diam sebentar, lalu diam-diam tertawa dengan suara rendah."
Lama berkata, "Kami kira ibu ini kurang waras, stress, makanya tidak beritahu Mahaguru."
"Sudah berapa lama?"
"Beberapa minggu ini."
Saya berkata, "Walau wanita ini diperlakukan secara tidak adil, atau terserang penyakit apapun, atau mengalami penderitaan apapun, kita sebagai bhiksu harus maju untuk memperhatikannya."
Lama berkata, "Kami tidak berani melaporkan penderita gangguan jiwa pada Mahaguru, takutnya ia mencelakai Mahaguru, belajar dari pengalaman masa lampau, wanita yang mengalami gangguan jiwa, sebaiknya dihindari."
Saya berkata, "Buddha welas asih, orang yang mengalami gangguan jiwa boleh dibilang sangat tidak beruntung, ia bahkan diperlakukan secara tidak adil, jika kita tidak prihatin, siapa lagi yang prihatin, saya pribadi tidak mengabaikan seorang insan pun, siapapun wajib membantunya!"
Saya meminta para lama untuk menaruh lebih banyak perhatian pada wanita-wanita demikian dan berusaha membantu mereka.
Jika memang ada kesulitan besar, saya juga akan berusaha membantunya dengan sekuat tenaga.
Wanita yang terisak ini mengalami 3 kesulitan besar:
1. Hidup seorang diri di Amerika dan menganggur.
2. Kedua anaknya durhaka.
3. Tiada sandaran hidup.
Pada kebaktian malam tanggal 16 Juli 2008, ia datang bersarana pada saya. Begitu bertemu wanita ini, saya melihat "Kitab Langit", saya pun tahu seluruh peristiwa yang dialami wanita ini. Ini sungguh luar biasa. Wanita ini menangis di Ling Shen Ching Tze, tetapi, saya justru mendengar isak tangisnya di "Zhenfo Miyuan".
Aneh! Aneh!
Jika saya tidak bertanya, para lama mendiamkannya, bukankah kita kehilangan kesempatan menyeberangkan seorang insan yang berjodoh? Saya berusaha membantunya dengan sekuat tenaga.
Sajak:
Kita mendalami Buddhadharma untuk menyadarkan para insan.
Menyeberangkan para insan bukan sekadar formalitas belaka.
Takkan mengabaikan seorang insan pun.
Inilah spiritual sejati.
Kitab Langit
Saya bertanya pada bocah suci, "Tempat apa ini?"
Bocah suci menjawab, "Alam Mahavyuha." (大莊嚴境)
Kami tiba di suatu istana megah, di atasnya tertulis "Vairocana Mahavyuhagarbha." (毘盧遮那大莊嚴藏)
Hanya tampak pintu istana tertutup rapat, saya menoleh pada bocah suci, bocah suci sedari awal sudah menghilang.
Saya berpikir sejenak, nama "Vairocana Mahavyuhagarbha" ini sangat familiar, saya tiba-tiba teringat, inilah lokasi ardra ke-50 dari "Subhadhana Kumara" (善財童子).
Inilah istana Buddha Maitreya.
Dan, bocah suci adalah penjelmaan Buddha Maitreya, pantas saja ada buntelan yang selalu dibawa Buddha Maitreya.
Saya tiba-tiba tersadar.
Saya memetik jari 3 kali di depan pintu istana, pintu istana pun terbuka, saya masuk, sekali memandang, memang sangat mengejutkan. Di dalamnya ada dunia lain lagi, istana sangat luas tak terhingga, tak terlukiskan, bahkan lebih menakjubkan daripada alam suci.
Saya bertemu banyak Mahasattva, ada yang kenal, ada juga yang tidak kenal, jumlahnya banyak.
Saya tiba di Sapta-haimah yang terang (光明七金山), bertemu dengan raja dewa yang memiliki kuasa besar yang terang dan agung, Buddha Maitreya.
Buddha Maitreya berkata, "Saya menjelma menjadi bocah suci, menuntun Mahaguru Lu ke sini, tahukah Anda mengapa?"
Saya menjawab, "Tidak tahu."
Buddha Maitreya berkata, "Hanya karena Anda menemui banyak musibah di dunia Saha, hati saya iba, sehingga menuntun Anda kemari untuk berbasuh cahaya Buddha dan istirahat barang sebentar."
Saya bertanya, "Bagaimana masa depan saya?"
Buddha Maitreya berkata, "Samudera berombak besar."
"Lantas, bagaimana kalau samudera berombak besar."
Buddha Maitreya menjawab, "Mampu menguasai segala sesuatu."
Saya berkata, "Terima kasih atas petunjuk Buddha Maitreya." (Mampu menguasai segala sesuatu, itulah bebas leluasa)
Buddha Maitreya berkata, "Saya punya sebuah "Kitab Langit", sekarang saya berikan pada Anda, taruh di dalam hati Anda, jika Anda mengalami musibah, buka saja, maka musibah akan teratasi dengan sendirinya. "Kitab Langit" ini, dapat membuat semua urusan berjalan sesuai harapan Anda, kemalangan berubah menjadi kemujuran. Di dalamnya ada berlaksa-laksa Dharma, mengatasi berlaksa-laksa musibah, juga membantu Anda menyeberangkan para insan."
Bodhisattva Maitreya memancarkan seberkas cahaya putih, "Kitab Langit" pun masuk ke hati saya, hati saya memancarkan cahaya tanpa batas.
Dengan adanya "Kitab Langit" ini, saya tiba-tiba menjadi maha tahu.
Pencerahan saya adalah: ketika jodoh duniawi belum tuntas, semua adalah "benar dan salah", semua adalah "satu sama lain", dan tidak nyata.
Ketika jodoh duniawi sudah tuntas, dipandang lewat pandangan yang benar, semua hanya cerita lucu belaka.
Saya "menjelma tanpa pamrih".
Sajak:
Kitab pusaka langit.
Menarik dan sulit diukur kemuliaannya.
Membukanya membuat saya cerah.
Mengetahui segala kekurangan dan kelebihan.
Rahasia Terbesar Terletak Pada "Hati Tathagata"
Saya terbahak-bahak, tidak menjawab.
Seseorang pernah bertanya pada saya, "Anda mendengar Buddha dan Bodhisattva bicara pada Anda, namun, saya bingung, sebenarnya bagaimana Buddha dan Bodhisattva bicara pada Anda, apakah memakai Bahasa Hindustan, Bahasa India, Bahasa Pali, Bahasa Inggris, Bahasa Mandarin, atau Bahasa Taiwan? Saya sungguh tidak mengerti."
Saya terbahak-bahak, tidak menjawab.
Seseorang pernah bertanya pada saya, "Anda mengatakan bahwa Anda tahu Buddha dan Bodhisattva telah datang; Anda tahu Vajra Dharmapala telah datang; Anda tahu Dakini dan para dewa telah datang; Anda tahu makhluk halus telah datang. Bagaimana Anda membedakan yang datang adalah Buddha, Bodhisattva, Vajra, Dharmapala, Dakini, para dewa, atau makhluk halus?"
Saya terbahak-bahak, tidak menjawab.
Di sini, saya ceritakan satu kejadian:
Saya pergi ke rumah seorang siswa, begitu ke altar mandala rumahnya, "Yaochi Jinmu" di dalam altar berkata pada saya, "Ibunda siswa ini pasti akan meninggal dunia dalam tahun ini, Anda harus menjemput dan menuntunnya ke alam suci!"
Saya jawab, "Baiklah!"
Siswa itu mentraktir saya hidangan yang sangat mewah di rumahnya, namun, saya kurang berselera.
Saya melihat ibunda siswa saya, tubuhnya sangat sehat, ia naik turun tangga dengan gesitnya.
Saya terus berpikir, bagaimana menyampaikan hal ini pada siswa saya ini tanpa membuatnya tersinggung, karena saya tidak ingin langsung memutuskan hidup dan matinya seseorang.
Saya berkata, "Hidup dan mati sudah ditakdirkan, kejayaan sudah diatur langit."
Siswa saya mendengarkannya.
Saya berkata, "Ibu Anda akhir-akhir ini ada satu masalah, Jinmu memberikan titah pada saya agar saya membantunya."
Siswa saya menjawab, "Ya, ya."
Tentu saja, ibunda siswa saya ini tak lama kemudian, tergelincir saat berjalan, tulang duduk patah semua, tak sampai beberapa hari, memasuki kondisi koma yang dalam, selanjutnya meninggal dunia.
Begitu saya tahu kejadian ini, di dalam samadhi, saya pun menjemput ibunda siswa saya terlahir ke "Mahapadminiloka".
Di dalam kisah singkat ini, ada tiga pertanyaan:
1. "Yaochi Jinmu menampakkan wujud apa?"
2. "Yaochi Jinmu bicara bahasa apa?"
3. "Di dalam altar mandala banyak Buddha dan Bodhisattva, bagaimana tahu itu ucapan Yaochi Jinmu?"
Ketiga pertanyaan ini kurang lebih sama dengan ketiga kebingungan yang di awal, saya asosiasikan dengan sebuah kalimat pendek:
Yang keluar dari keran pasti "air".
Yang keluar dari mancis pasti "api".
Ketika seseorang mendekati saya, saya bisa merasakan lubuk hatinya penuh dengan sukacita, atau kesedihan yang sangat mendalam, saya bisa tahu sifatnya ekstrovert atau introvert.
"Bahasa" hanya semacam suara, suara ini ada rahasianya, Sang Buddha berceramah Dharma, satu suara bisa berkembang menjadi puluhan ribu Dharma, apa yang dipahami oleh setiap Bodhisattva yang mendengarkan Dharma berbeda-beda.
Mengapa saya hanya menggunakan pikiran tanpa mengeluarkan suara, lantas Buddha dan Bodhisattva pun mengetahui pikiran saya?
Begitu banyak siswa duduk di depan Dharmasana saya, bagaimana pula saya tahu pikiran setiap siswa?
Saya sungguh tidak dapat membocorkan apa-apa. Sebab ada perbedaan yang mencolok antara mata jasmani manusia atau indera pendengaran manusia atau kemampuan membedakan hal ikhwal dan indera atau pengetahuan Buddha dan Bodhisattva.
Misalnya: Buddha mempunyai "mata fisik", "mata langit", "mata Dharma", "mata kebijaksanaan", "mata Buddha", dan apa yang saya miliki tidak dapat diukur oleh mata manusia.
Kemampuan pendengaran saya tidak dapat diukur oleh telinga manusia.
Kemampuan membedakan saya tidak dapat diukur oleh kemampuan membedakan manusia.
Sekalipun Anda adalah Bodhisattva bhumi pertama, bagaimana pula dapat mengukur saya "Buddha Hidup Lian Sheng Sheng-yen Lu"!
Terus terang saya katakan pada Anda, rahasia saya yang terbesar terletak pada "hati Tathagata", ini sama sekali tidak dapat dibayangkan oleh manusia biasa.


