Pertanyaan Keduabelas: Apakah Kesaktian itu Hasil Pengembangan?

Penanya bertanya, "Dengan kata lain, apakah kesaktian itu hasil pengembangan potensial? Buddha bisa bebas memanfaatkan kesaktian untuk menyelamatkan insan. Sedangkan semua insan memiliki Buddhata, hanya saja kesaktian kita belum berkembang saja, benarkah itu?"

Jawaban saya:

Saya lebih dulu berikan sebuah contoh:

Ada seorang gadis cantik memelihara seekor beo. Suatu hari gadis ini sedang mandi di kamar mandi dan tanpa berbusana berjalan ke ruang tamu.

Beo berteriak, "Saya sudah lihat! Saya sudah lihat!"

Si gadis marah, "Teriak lagi, saya cabut semua bulumu."

Keesokan harinya, seorang tamu berkepala gundul bertandang ke rumah.

Beo berkata pada si pria gundul tersebut, "Apakah Anda juga melihat gadis tanpa busana?"

Hahaha!

Saya menunjukkan cerita ini untuk menjelaskan, kita jangan sekali-kali salah paham bahwa kesaktian itu hasil pengembangan. Maksud saya adalah, kita belajar Buddhadharma, bukan belajar kesaktian.

(Tidak setiap pria gundul itu melihat gadis tanpa busana)

Belajar meditasi Buddha.

Belajar kestabilan Buddha.

Belajar kebijaksanaan Buddha.

Belajar pencapaian Buddha.

Mengenai melihat apa? Mendengar apa? Mata langit, telinga langit, mengetahui tumimbal lahir yang terdahulu, membaca pikiran orang lain, melakukan perjalanan spiritual, bebas dari kebocoran, semua itu alami adanya, hasil penjelmaan ilusi. Kita harus memiliki konsep seperti ini dalam memandang kesaktian.

Kita bukan mengembangkan kesaktian. Melainkan mengembangkan kebijaksanaan Buddha, membuktikan tingkat pencapaian.

Dengan adanya pembuktian nyata, tanpa mengusahakan kesaktian, kesaktian akan datang dengan sendirinya, ini adalah masalah utama dan sampingan, kita bukan mengusahakan hal sampingan dan mengabaikan hal utama, di dalam pembuktian nyata, dengan sendirinya ada kesaktian, terlalu menekankan kesaktian, justru akan menyimpang ke jalan sesat.

Mengejar kesaktian berarti mengejar "ilusi".
Mengembangkan kesaktian berarti mengembangkan "ilusi".

Tidak berhasil menjadi sakti, malah menjadi "gila". (sakit jiwa)

Kesaktian mudah sekali membuat orang terkena sakit jiwa, semua penderita sakit jiwa, semua mendapatkan "halusinasi", "fotisme", dan "fonisme".

Sebagai hasilnya, seluruh hidupnya pun hancur-lebur!

Yang namanya "memahami hati dan menyaksikan Buddhata", saya berasumsi demikian:

Memahami hati dan mencapai pencerahan adalah teori, teori Buddhisme dari menyaksikan kebenaran, asalkan menyaksikan kebenaran, kita pun memahami hati.

Sedangkan ketrampilan menyaksikan Buddhata adalah pembuktian, ini mengandalkan ketrampilan, jika ketrampilan melatih diri telah mencapai tingkat keberhasilan, baru dapat menyaksikan Buddhata.

Mengenai "kesaktian".

Sama sekali adalah "ilusi".

Banyak orang mencampuradukkan kesaktian dengan membuktikan Buddhata, itu sepenuhnya salah besar. Banyak orang beranggapan bahwa kesaktian adalah membuktikan Buddha Bodhisattva, itu salah besar.

Kesaktian terdiri dari: kesaktian roh hewan. (tingkat rendah)

Kesaktian roh siluman. (tingkat rendah)

Kesaktian hantu. (tingkat rendah)

Kesaktian dewa. (tingkat menengah)

Kesaktian Bodhisattva. (tingkat tinggi)

Kesaktian Buddha. (tingkat tertinggi)

.............

Sepengetahuan saya, banyak sekali roh tingkat rendah yang bisa menyamar menjadi Bodhisattva tingkat tinggi, orang awam selalu ditipu oleh roh tingkat rendah, bahkan si cenayang pun ditipu, jadi, dalam hal ini, paling baik jangan melekat, camkan! Camkan!

Kita belajar Buddhadharma:

1. Belajar Bodhisattva Manjushri, Bodhisattva Nagarjuna sebagai perintis Buddhadharma prajna Madhyamika.
2. Belajar Bodhisattva Maitreya, Bodhisattva Asanga sebagai perintis Buddhadharma prajna Vijnanavada.

"Ajaran", "Pembuktian" kita harus pelajari.

Kita tidak mengembangkan kesaktian.

Camkan! Camkan! Sekali pikiran menyimpang, langsung menjadi Mara!

Tidak ada komentar: