Penanya bertanya, "Dengan kata lain, apakah kesaktian itu hasil
pengembangan potensial? Buddha bisa bebas memanfaatkan kesaktian untuk
menyelamatkan insan. Sedangkan semua insan memiliki Buddhata, hanya saja
kesaktian kita belum berkembang saja, benarkah itu?"
Jawaban saya:
Saya lebih dulu berikan sebuah contoh:
Ada
seorang gadis cantik memelihara seekor beo. Suatu hari gadis ini sedang
mandi di kamar mandi dan tanpa berbusana berjalan ke ruang tamu.
Beo berteriak, "Saya sudah lihat! Saya sudah lihat!"
Si gadis marah, "Teriak lagi, saya cabut semua bulumu."
Keesokan harinya, seorang tamu berkepala gundul bertandang ke rumah.
Beo berkata pada si pria gundul tersebut, "Apakah Anda juga melihat gadis tanpa busana?"
Hahaha!
Saya
menunjukkan cerita ini untuk menjelaskan, kita jangan sekali-kali salah
paham bahwa kesaktian itu hasil pengembangan. Maksud saya adalah, kita
belajar Buddhadharma, bukan belajar kesaktian.
(Tidak setiap pria gundul itu melihat gadis tanpa busana)
Belajar meditasi Buddha.
Belajar kestabilan Buddha.
Belajar kebijaksanaan Buddha.
Belajar pencapaian Buddha.
Mengenai
melihat apa? Mendengar apa? Mata langit, telinga langit, mengetahui
tumimbal lahir yang terdahulu, membaca pikiran orang lain, melakukan
perjalanan spiritual, bebas dari kebocoran, semua itu alami adanya,
hasil penjelmaan ilusi. Kita harus memiliki konsep seperti ini dalam
memandang kesaktian.
Kita bukan mengembangkan kesaktian. Melainkan mengembangkan kebijaksanaan Buddha, membuktikan tingkat pencapaian.
Dengan
adanya pembuktian nyata, tanpa mengusahakan kesaktian, kesaktian akan
datang dengan sendirinya, ini adalah masalah utama dan sampingan, kita
bukan mengusahakan hal sampingan dan mengabaikan hal utama, di dalam
pembuktian nyata, dengan sendirinya ada kesaktian, terlalu menekankan
kesaktian, justru akan menyimpang ke jalan sesat.
Mengejar kesaktian berarti mengejar "ilusi".
Mengembangkan kesaktian berarti mengembangkan "ilusi".
Tidak berhasil menjadi sakti, malah menjadi "gila". (sakit jiwa)
Kesaktian
mudah sekali membuat orang terkena sakit jiwa, semua penderita sakit
jiwa, semua mendapatkan "halusinasi", "fotisme", dan "fonisme".
Sebagai hasilnya, seluruh hidupnya pun hancur-lebur!
Yang namanya "memahami hati dan menyaksikan Buddhata", saya berasumsi demikian:
Memahami
hati dan mencapai pencerahan adalah teori, teori Buddhisme dari
menyaksikan kebenaran, asalkan menyaksikan kebenaran, kita pun memahami
hati.
Sedangkan ketrampilan menyaksikan Buddhata adalah
pembuktian, ini mengandalkan ketrampilan, jika ketrampilan melatih diri
telah mencapai tingkat keberhasilan, baru dapat menyaksikan Buddhata.
Mengenai "kesaktian".
Sama sekali adalah "ilusi".
Banyak
orang mencampuradukkan kesaktian dengan membuktikan Buddhata, itu
sepenuhnya salah besar. Banyak orang beranggapan bahwa kesaktian adalah
membuktikan Buddha Bodhisattva, itu salah besar.
Kesaktian terdiri dari: kesaktian roh hewan. (tingkat rendah)
Kesaktian roh siluman. (tingkat rendah)
Kesaktian hantu. (tingkat rendah)
Kesaktian dewa. (tingkat menengah)
Kesaktian Bodhisattva. (tingkat tinggi)
Kesaktian Buddha. (tingkat tertinggi)
.............
Sepengetahuan
saya, banyak sekali roh tingkat rendah yang bisa menyamar menjadi
Bodhisattva tingkat tinggi, orang awam selalu ditipu oleh roh tingkat
rendah, bahkan si cenayang pun ditipu, jadi, dalam hal ini, paling baik
jangan melekat, camkan! Camkan!
Kita belajar Buddhadharma:
1. Belajar Bodhisattva Manjushri, Bodhisattva Nagarjuna sebagai perintis Buddhadharma prajna Madhyamika.
2. Belajar Bodhisattva Maitreya, Bodhisattva Asanga sebagai perintis Buddhadharma prajna Vijnanavada.
"Ajaran", "Pembuktian" kita harus pelajari.
Kita tidak mengembangkan kesaktian.
Camkan! Camkan! Sekali pikiran menyimpang, langsung menjadi Mara!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar