AGAMA BUDDHA TIDAK REALISTIS?

Seorang pembaca bermarga Yu menulis sepucuk surat yang cukup panjang pada saya, isi suratnya sungguh terlalu panjang. Jadi, di sini saya hanya mengambil intisarinya, berikut adalah hal-hal yang membingungkannya:

"Mahaguru Lu menganggap kehidupan duniawi itu ilusi, bagaikan embun, kilat, mimpi, ataupun gelembung. Dalam hal ini, berarti Mahaguru Lu menyangkal semua kehidupan duniawi. Kekayaan dan kekuasaan tidak dipandang, presiden pun tidak dipandang, penghargaan Nobel pun tidak dipandang, hubungan suami istri yang harmonis pun tidak dipandang."

"Numpang tanya, benarkah Mahaguru Lu sama sekali tidak mementingkan nilai kehidupan?"

Saya menjawab:

"Hidup ini memang sementara dan singkat. Malah, pepatah pun sering mengatakan hidup ibarat mimpi. Apalagi banyak orang hidup di dalam kesusahan, atau orang yang mengalami revolusi besar pun akan menyesalkan bahwa hidup ini berubah-ubah dan tidak menentu, hidup ini sangat semu."

"Namun, Agama Buddha tidak menyangkal nilai kehidupan, hanya mengajarkan manusia agar "jangan melekat" saja. Agama Buddha justru memperhatikan sila, memperhatikan keadaan tidak wajar yang terjadi di masyarakat, serta meningkatkan moralitas kehidupan. Agama Buddha memperhatikan karma, mengajarkan manusia agar menghindari kejahatan, melakukan kebajikan, dan membangun nilai-nilai positif, kebajikan, dan keindahan dalam hidup ini."

"Agama Buddha justru lebih aktif mengajarkan manusia, walau hidup ini singkat dan sementara, manusia justru harus berusaha mengejar kebenaran, bahkan harus segera mencapai pencerahan, memahami hati dan menemukan Buddhata, mengendalikan hidup dan mati, dan mencapai pembebasan dalam kehidupan sekarang. Di sini, manusia justru diajarkan agar tekun dan gigih bersadhana. Ini justru sangat positif."

"Terhadap kekayaan dan kekuasaan, presiden, penghargaan Nobel, jika kita mendapatkannya tentu saja bagus, jika kita tidak mendapatkannya juga tidak apa-apa, jangan melekat. Jika dapat, harus lebih aktif mendalami dunia, agar manusia bahagia dan bebas dari duka, inilah semboyan utama dalam Agama Buddha. Oleh karena itu, Agama Buddha justru memperhatikan nilai kehidupan."

*

Pembaca Yu berkata:

"Agama Buddha menganggap Sukhavatiloka Barat atau Mahaguru Lu menganggap Mahapadminiloka itu abadi. Dengan kata lain, hanya dengan tiba di alam suci, itu baru nyata, yang lainnya palsu."

"Numpang tanya, kalau dunia ini palsu, manusia itu palsu, segala sesuatu itu palsu, bagaimana saya bisa tetap hidup?"

Saya menjawab:

"Di dalam Agama Buddha yang sesungguhnya, alam suci masih belum merupakan alam Buddha yang benar-benar final, alam suci hanya dapat dianggap sebagai stasiun pemberhentian, terlahir di alam suci beda dengan mencapai kebuddhaan, di sana kita tetap harus bersadhana, baru dapat mencapai final dari moksa (pembebasan) dan bodhi (kebuddhaan), oleh sebab itu, di sini saya tegaskan bahwa alam suci tidaklah abadi."

"Mengenai manusia itu palsu, hidup itu palsu, segala sesuatu itu palsu, maksud saya bukan itu. Saya tetap berpegang pada satu kalimat: sementara, singkat, dan tidak abadi."

"Menurut saya, di bawah kondisi normal, manusia melihat segala sesuatu di dunia ini adalah nyata. Namun, ketika sakit, pandangan manusia terhadap segala sesuatu di dunia ini beda lagi. Sang Buddha sering kali mengumpamakan, orang sakit melihat ada bunga di dalam kekosongan. Kita tahu segala sesuatu yang dilihat oleh orang sakit jiwa yang mengalami halusinasi, fotisme, atau fonisme adalah palsu, tapi orang sakit jiwa justru menganggapnya sangat nyata."

Saya menjawab:

"Baik nyata maupun palsu, Agama Buddha bertujuan agar semua manusia, jangan terlalu serakah, jangan melekat pada harta, seks, nama, dan keuntungan, jangan serakah pada harta, seks, nama, dan keuntungan, bahkan kehilangan akal sehat sehingga melakukan kejahatan seperti mencuri, berzinah, dan berdusta yang justru lebih memperburuk karma kita."

"Jika Agama Buddha melihat dunia ini palsu, melihat manusia itu palsu, melihat segala sesuatu di dunia ini palsu, berarti menyangkal semua baik-buruk dan hukum karma. Jadi, segala sesuatu di dunia ini, ada yang nyata dan ada yang palsu, dalam hal ini, semua tergantung kebijaksanaan dan akal sehat."

Pembaca Yu bertanya:

"Mahaguru Lu, apakah Anda mengajari semua orang untuk menjadi bhiksu? Saya takkan mau!"

Saya menjawab:

"Menjadi bhiksu atau tidak, semua adalah jodoh, tidak dapat dipaksa. Paling tidak, Anda tidak akan menjadi bhiksu."

Tidak ada komentar: