Beberapa kehidupan yang lampau, saya menghasilkan banyak harta kekayaan,
saya adalah orang terkaya di sebuah negara, boleh dikatakan, saya
adalah orang terkaya nomor satu di dunia.
Karena saya sangat
kaya, uang bisa membuat segalanya menjadi mudah, sehingga, banyak
melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk orang lain, di dunia manusia,
saya sangat berwibawa dan berkuasa, juga melakukan sedikit amal, jadi,
reputasi saya adalah seorang dermawan, dermawan terbesar nomor satu.
Saya membantu budiman-budiman bermoral, mereka juga berterima kasih pada saya, menyebut saya seorang budiman.
Saya
mengunjungi orang-orang berbudi luhur, mereka juga sangat menghormati
saya. Saya sendiri mengira, dengan berkumpul dengan budiman dan
orang-orang berbudi luhur, saya pun menjadi budiman dan orang-orang
berbudi luhur. Walaupun saya tidak mempunyai negara, namun, rumah saya,
luas sekali, layaknya istana, saya mempunyai banyak istri dan selir
cantik, sekawanan pembantu, wibawa saya tidak kalah dengan kaisar.
Wibawa
tersebut membuat saya sangat bahagia. Pejabat lokal tempat saya
berdomisili pun sangat menurut pada saya, karena saya memiliki harta
kekayaan berlimpah, bahkan saya bisa mempermainkan orang lain hanya
dengan sedikit saja harta kekayaan yang saya miliki.
Orang terkaya di kolong langit telah memelihara banyak pendekar yang berwatak ksatria, mereka menurut sekali pada saya.
Saya mempertahankan:
Reputasi seorang dermawan.
Kegemaran pada seni kecantikan wanita.
Kehidupan yang glamor.
Mendengar musik dari berbagai instrumen pukul, petik, dan tiup.
Menyantap hidangan lezat dari sapi, kambing, dan arak berkualitas.
Menikmati kenikmatan sentuhan sepuas-puasnya.
Melipatgandakan harta kekayaan sendiri dan terus mengusahakan harta kekayaan yang lebih banyak lagi.
Suatu hari, saya bertemu seseorang, ia berkata pada saya:
Hidup berkecukupan adalah berkah.
Uang dan harta kekayaan yang berlebihan justru membawa petaka.
Serakah dan tak kenal puas bisa kehilangan "moral", boleh dikatakan telah "tersesat".
Ketagihan dengan kenikmatan indera perasa, tubuh akan berangsur-angsur soak dengan sendirinya.
Terlalu ekstrim menjalankan usaha yang tidak perlu, boleh dikatakan "banting tulang".
Menguras habis perasaan dan pikiran, disebut "menguras pikiran".
Sedikit saja tidak puas, hati pun timbul "amarah".
Semua ini adalah penyakit dari terlalu banyak harta kekayaan.
Bahkan--
Sudah
ada, masih ingin lebih banyak lagi, sudah kaya, masih ingin lebih kaya
lagi, hati ibarat mendaki gunung dengan memikul barang berat.
Serakah dan tak kenal puas, boleh dikatakan "memalukan".
Menghimpun
harta kekayaan tanpa digunakan, bahkan tidak pernah berhenti
menjalankan usaha, adalah orang yang penuh dengan kerisauan. Orang ini
memiliki kekuatiran yang tidak ada batasnya.
Rumah takut kemalingan.
Keluar rumah takut dirampok.
Di dalam rumah, dijaga ketat.
Di luar rumah, tidak berani berjalan sendirian.
Semua ini adalah "ketakutan".
Dalam aspek reputasi, sebenarnya adalah nama palsu ibarat sehelai bulu di badan 9 ekor sapi. (tidak ada nilainya)
Dari
aspek keuntungan, pada akhirnya adalah tidak dapat apa-apa. Cepat atau
lambat akan habis digerogoti oleh anak cucu yang tidak berbakti.
Apa yang benar-benar Anda miliki?
Bukankah mengejar harta kekayaan adalah "kebodohan terbesar"?
Dari
dulu hingga sekarang, konglomerat mana, mampu mengamati perbedaan
antara benar dan salah. Orang kaya memiliki kekuasaan berlimpah, ikut
berubah seiring dengan perubahan duniawi, mengabaikan hidup yang paling
penting, moralitas yang paling berharga, dan melakukan hal-hal yang
tidak sepantasnya. Menghasilkan uang berlimpah, kenikmatan juga
berlimpah, tidak mengerti mempertahankan hidup dan memperpanjang usia,
tidak mengerti menjaga badan, tidak mengerti cara menenangkan hati.
Sekalipun konglomerat di kolong langit, juga tidak luput dari petaka!
Setelah saya mendengarnya. Tiba-tiba tercerahkan.
Sehingga meninggalkan semua harta kekayaan.
Mengikuti orang ini masuk ke gunung dan menjadi bhiksu.
Siapakah saya? Rahasia, rahasia, rahasia.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar