Memang aneh juga, sepanjang hidup ini saya selalu berada dalam ketegangan antara dua kutub yang ekstrim. Sungguh kutub yang benar-benar ekstrim.
Misalnya, prestasi saya sewaktu masih di SD sangat buruk, selalu menduduki ranking terakhir. Begitu pula sewaktu di SLTP, saya pernah dua kali ketinggalan kelas. Seperti yang diketahui bahwa saya memang anak dungu yang sering memperoleh angka nol besar.
Tetapi, begitu memasuki SMU, prestasiku malah menjadi yang terbaik: nomor satu.
Mengapa bisa begitu?
(Dan sekarang ini saya telah memiliki kecerdasan prajna Sang Buddha)
Waktu masih kecil, saya adalah seorang umat Kristiani (pernah dibaptis) yang menganggap menyembah berhala itu hal yang sesat, dan agama Buddha itu adalah agama iblis.
Namun, akhirnya saya justru menjadi seorang penganut agama Buddha, menjadi seorang Vajra Acarya, seorang Buddha Hidup (Rinpoche) yang setiap hari bersujud pada patung.
Ini juga perubahan yang terjadi di antara dua kutub ekstrim.
Sepanjang hidupku ini, saya banyak mendapat sorotan dari pelbagai pihak. Saya dikritik habis-habisan, dicaci maki dan dihujat sebagai manusia busuk.
Namun, mereka yang percaya padaku justru memperlakukan saya selayaknya seorang Buddha. Saya dipuja dan disujud sebagai makhluk suci, sebagai dewa yang patut disembah dan dihormati.
Saya sadar bahwa batinku ini saleh.
Dunia luar dan dunia dalam, dua kutub ekstrim yang berketegangan.
Setelah menjalani kehidupan bertapa sekian lama, fisikku sempat mengalami penderitaan. Otakku terbelah menjadi delapan kelopak, catur maha-bhutani mengalami cerai-berai, benar-benar sudah mendekati ambang pintu kematian.
Namun, perlahan-lahan saya kembali membaik dengan kondisi kesehatan yang prima. Setelah diperiksa, semua organ tubuhku dalam kondisi normal. Sungguh gejala yang aneh, orang tua yang berusia 60-an malah memiliki tubuh yang sehat bagaikan umur 20-an.
Sungguh dua kutub yang sangat ekstrim.
Kelihatannya saya ini orang yang suka berkumpul ramai-ramai. Ceramahku selalu penuh dengan sanda-gurau. Demikian pula saat mengerjakan sesuatu, saya selalu aktif dan bersikap optimis terhadap hidup ini. Saya selalu tertawa lepas.
Tapi, ada kalanya saya pun meneteskan air mata. Saya bisa hidup dalam kesendirian di tengah pertapaan selama 3 tahun, bisa juga hidup menyepi lebih lama lagi merasakan hidup yang penuh kesepian. Bahkan hidup menyepi hingga ajalku tiba.
Pujana yang dipersembahkan para umat untukku adalah benda-benda yang amat berharga. Dilihat dari apa yang pernah kumiliki ini, boleh dikatakan saya ini termasuk orang berkarunia mahabesar.
Namun, jarang sekali orang yang tahu bahwa saya sangat hemat dan sederhana dalam menjalani kehidupan ini. Saya orang yang tidak suka pemborosan, tak pernah sekali pun saya berfoya-foya menghamburkan uang, kebiasaan hidupku mirip dengan seorang pengemis. Sungguh di luar dugaan orang!
Dari luar, saya tak lebih dari seorang manusia biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa dibandingkan dengan orang kebanyakan. Di tengah keramaian orang, saya sama sekali tidak menonjol.
Namun, pemahaman dan pengetahuanku terhadap Dharma Buddha sungguh di luar jangkauan orang banyak. Kadang kala malah di luar dugaan orang.
Saya mampu menjelajahi alam spiritual, melintasi dasadica Dharma-dhatu serta bertatap muka dengan Buddha Sakyamuni. Pencapaianku hanya dipahami sesama Buddha.
Hati yang cerah menemukan hakekat diri yang sejati, sebuah pencerahan total yang tuntas.
Saya paham tak ada manusia atau sesuatu hal yang kekal di dunia ini. Kita semua hanya tumpang hidup saja.
Saya juga sadar, keabadian yang sejati hanya ada pada Buddha-gotra. Karena saya telah mencapai Buddha-gotra maka aku adalah Buddha, dan Buddha adalah aku.
Hanya aku yang merupakan keabadian.
Sekarang ini, banyak orang yang tahu dan mengenal diriku, banyak orang berkata bahwa saya adalah orang yang sangat terkenal.
Namun, saya hidup menyepi, tanpa nama. Saya hidup sebagai manusia tanpa nama.
Tema utama dalam Kitab Zhuangzi adalah 'Kebebasan'.
Dan bagi diri seorang Lu Sheng-yen, hanya ada satu kata, yakni 'Buddha'.
Saya berkata, "Manusia pada umumnya hanya memiliki satu karakter, kalau bukan baik, pastilah jahat; kalau tidak positif, pastilah negatif; kalau bukan manusia mulia, pastilah manusia hina; kalau tidak pandai, pastilah pandir."
Tapi, bagi diriku semua sifat itu saya miliki.
Bahkan, diriku sendiri pun tak memahami siapakah diriku ini!
Aha!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar