Dulu, ketika saya masih praktek fengshui di Taiwan, pernah suatu kali seorang konglomerat papan atas yang cukup ternama di Taiwan meminta jasaku mengamati fengshui tanah yang rencananya diperuntukkan sebagai tanah makam almarhum kakeknya.
Ratusan orang bhiksu diundang oleh konglomerat itu untuk membaca doa untuk almarhum kakeknya. Upacara perkabungan waktu itu terbilang termewah dan termeriah sepanjang sejarah di sana. Hampir seluruh tokoh negeri itu mulai dari presiden sampai kepala desa hadir untuk melayat.
Saya adalah seorang guru fengshui waktu itu, juga termasuk dalam daftar undangan mereka.
Ketika itu saya belum jadi bhiksu. Saya pernah belajar sedikit tentang 'liturgi', maka saya tahu sutra apa saja yang dibacakan oleh para bhiksu di sana.
Para bhiksu sedang membacakan Sutra Vajrachedika.
Isinya antara lain:
Nan ke yi meng shu huang liang. Kan tan ren sheng bu jiu chang.
You sheng you si jie you ming. Wu pin wu fu yi wu chang.
Huen fei po san gui he chu. Xing lang xin kong wang gu xiang.
Jian dui xu kong shen zhao qing. Ling zhan jing zhou wang xi fang.
Mereka juga membacakan Ikrar Sukhavati dan Gatha Pertobatan Arwah.
Di tengah berlangsungnya pembacaan sutra oleh para bhiksu, satu per satu pejabat negara maju ke meja altar mendiang untuk membakar dupa dan memberi penghormatan terakhir. Sanak keluarga almarhum membalas hormat dari sisi mendiang.
Waktu itu saya masih seorang tak terpandang yang tersembunyi di tengah kerumunan orang banyak. Saya adalah urutan terakhir yang maju ke meja altar untuk membakar dupa.
Sebenarnya saya enggan sekali untuk maju ke depan. Dalam suasana yang dihadiri banyak orang terpandang ini, saya benar-benar merasa takut dan minder.
Rupanya tuan rumah melihat kehadiranku. Ia memberi isyarat agar saya maju ke depan.
Maka, sebagai orang terakhir yang maju ke depan untuk membakar dupa, saya tidak berani menoleh ke kanan-kiri. Sambil melangkah ke depan, saya pun sambil berguman, "Pergi! Pergi! Pergi!"
Kata 'pergi' ini kumaksudkan untuk menguatkan rasa percaya diri sendiri agar berani 'pergi' tampil ke depan dan tidak bersembunyi di belakang. Betapa pun tingginya jabatan orang-orang di sekitar situ, mereka sama-sama manusia biasa yang tak perlu ditakuti. Lagipula saya adalah penasihat fengshui bagi si tuan rumah, tak ada hubungan apa-apa dengan orang-orang petinggi itu.
Setelah tujuh hari penuh para bhiksu membacakan Sura Vajrachedika dan memanjatkan Gatha Pertobatan. Malam hari itu dalam mimpi, si tuan rumah kedatangan almarhum kakek yang berkata padanya, "Kakek semasa hidup pernah berbuat karma buruk dan secara tak sengaja pernah melanggar sila membunuh serta beberapa karma buruk lainnya maka kini sangat menderita dengan dikerubungi arwah penagih utang yang datang mendesak. Bersyukurlah, ada seorang tamu agung yang kamu undang turut membakar dupa untuk saya. Ia dalah orang terakhir yang maju ke depan. Saat membakar dupa, ia sempat berucap "Pergi! Pergi! Pergi!" dan para penagih utang pun segera pergi membubarkan diri seakan menuruti perintahnya. Kini, kakek berhasil naik ke alam dewa. Untuk itu, berterimakasihlah kepada dewa penolong itu."
Mendapat pesan melalui mimpi dari almarhum kakek, konglomerat itu segera mencari tahu siapakah tamu terakhir yang membakar dupa waktu itu dengan sambil berucap kata-kata "Pergi! Pergi! Pergi!"
Setelah memeriksa daftar tamu, didapati bahwa yang urutan terakhir adalah guru fengshui bernama Lu Sheng-yen.
Mereka tidak yakin Lu Sheng-yen adaah dewa penolong yang dimaksud. Ia hanya seorang guru fengshui yang baru mulai praktek (belum begitu terkenal)
Namun, begitu diperiksa apakah masih ada tamu lain setelah Lu Sheng-yen, ternyata jawabannya nihil.
Si tuan rumah menemuiku dan bertanya, "Sewaktu membakar dupa, kalimat apa yang telah Anda ucapkan?"
"Tak berucap apa-apa," jawabku.
"Yakin?"
Saya tak berani menyembunyikan kebenaran, lalu bercerita jujur padanya, "Waktu itu saya bermaksud membakar dupa, maka memberanikan diri maju ke depan dengan menyebut 'pergi' tiga kali."
"Anda rupanya. Kakek kami sangat berterima kasih pada Anda."
"Terima kasih untuk apa?"
"Terima kasih telah membantu menyeberangkan Kakek ke alam dewa."
"Jangan bergurau. Bagaimana mungkin dengan menyebut 'Pergi! Pergi! Pergi!' bisa membantu menyeberangkan? Seharusnya Anda berterima kasih kepada para bhiksu."
Akhirnya, barulah tuan rumah menceritakan sebab-musabab tersebut. Dan saya pun tercengang mendengarkannya.
Kini setelah dipikir-pikir kembali, mungkin saat mulutku secara tak sengaja bergumam "Pergi! Pergi! Pergi!", di ats kepalaku muncul tiga berkas cahaya, dan itu berarti memancarkan "Titah Sang Buddha" sehingga mampu menghalau para arwah pengganggu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar