Kolot dan Modern

Ketika saya menyepi di Pulau Tian Xi, setiap hari saya berenang di Danau Daun. Waktu berenang saya adalah sekitar pukul setengah tiga sore. Setiap hari demikian. Jika tidak ada sebab-sebab tertentu, saya tidak pernah absen.

Jangan mengira bahwa banyak orang berenang di Danau Daun. Belum pernah terlintas dalam benak Anda bahwa saya selalu berenang sendirian. Umumnya, hanya saya si bodoh ini yang ada di sepanjang Danau Daun; terkadang ada satu atau dua orang juga. Pokoknya, jumlah orang yang berenang tidak banyak.

Belakangan, kesehatan saya menurun. Keempat elemen utama saya terurai dan otak saya merekah menjadi delapan kelopak. Air di Danau Daun mendingin, sebenarnya bukan air di Danau Daun yang mendingin, melainkan saya yang terserang demam. Akhirnya saya pun berhenti berenang.

Ada ceritanya sehingga saya gemar berenang:

Semasa kecil, saya suka sekali berenang. Seingat saya, ketika saya tinggal di Kaohsiung-Taiwan, saya berenang di sungai.

1. Bila berjalan ke arah timur dari Jalan Lin Sen Heng, ada sebuah kantor pemerintahan. Di sana ada sebuah sungai, di sanalah saya berenang.
2. Di belakang stasiun kereta api Kaohsiung, ada sebuah kali Baozhu, di sanalah saya berenang.
3. Di depan stasiun kereta api Kaohsiung, ada sebuah sungai Yunhe, di sanalah saya berenang.
4. Sungai Aihe Kaohsiung, ketika saya duduk di sekolah menengah, saya pernah berenang di Sungai Aihe.
5. Tempat pemandian air laut Xiziwan dan kolam renang kota.

Selain di tempat pemandian air laut dan kolam renang, jejak berenang saya dapat ditemukan di sungai-sungai besar dan kecil lainnya.

Karenanya, saya menyatakan bahwa bhiksu dan bhiksuni diperkenankan berenang dengan mengenakan pakaian renang.

Saya ini tidak berpikiran kolot. Selama itu adalah olahraga yang layak, seorang sadhaka tetap boleh melakukannya. Saya menyatakan bahwa bhiksu dan bhiksuni boleh mengenakan pakaian olahraga dan berolahraga di tempat kebugaran masa kini.

Ini bukan hal yang aneh, melainkan normal. Sebaliknya, saya tidak sependapat dengan sila yang keras, seperti tidak boleh melepaskan tiga lapis jubah, sehari cuma makan sekali, tidak makan setelah lewat tengah hari, dan lain sebagainya.

Kalau bhiksu atau bhiksuni tidak boleh melepaskan tiga lapis jubahnya, bagaimana mereka bisa berenang? Kalau bhiksu atua bhiksuni sehari cuma makan sekali, bukankah mereka akan kekurangan gizi? Kalau bhiksu atau bhiksuni tidak makan setelah lewat tengah hari, sesuaikah dengan kehidupan zaman sekarang? Menjaga bindu agar tidak tumpah atau tidur dalam posisi duduk?

Walaupun saya bukan orang kolot, namun, saya juga bukan orang modern; sebagian bhiksu dan bhiksuni Zhenfozong, bukan sebagian besar melainkan sebagian kecil saja. Saya berikan contoh sebagai berikut:

1. Bhiksu atau bhiksuni hanya mengenakan jubahnya bila berada di dalam lingkungan vihara dan tempat upacara saja, selebihnya setiap hari dan setiap saat mereka memakai topi dan baju biasa. (Saya tidak terbiasa melihat mereka seperti itu, sebab ini adalah pelanggaran sila, kecuali ada alasan tertentu)
2. Bhiksu atau bhiksuni nongkrong di bioskop setiap hari, ia menonton setiap film yang diputar ibarat menghitung harta keluarga. Saya tidak melarang bhiksu atau bhiksuni menonton film, namun tontonlah film yang bersifat religius dan inspiratif serta sopan.
3. Saya merasa bahwa bhiksu atau bhiksuni boleh-boleh saja lari pagi dengan memakai celana pendek dan kaos oblong; namun mengenakan celana pendek dan kaos oblong setiap saat justru tidak diperkenankan.
4. Bhiksu atau bhiksuni tidak diperkenankan pergi ke tempat yang tidak layak. Untuk yang satu ini, bahkan seorang umat Buddha yang berstatus upasaka atau upasika pun tidak diperkenankan apalagi bhiksu atau bhiksuni.
5. Menurut Anda, anehkah bila bhiksu atau bhiksuni jual beli saham di bursa efek? Pada hakikatnya, bhiksu atau bhiksuni tidak diperkenankan menimbun kekayaan; namun, karena saya bukan orang kolot, saya mengizinkan bhiksu atau bhiksuni menabung sedikit dana pribadi untuk bekal hidupnya, namun bhiksu atau bhiksuni tidak diperkenankan membuka usaha, kecuali usaha buku-buku buddhis dan usaha yang berhubungan dengan Buddhadharma.
6. Dalam aspek makanan, bhiksu atau bhiksuni sebaiknya mengonsumsi makanan yang sesuai dengan ilmu gizi. Jangan makan secara berlebihan atau kekurangan, sebab akan berdampak buruk pada kesehatan dan kehidupan bersadhana. Angkat kepala, busungkan dada, dan jangan membungkuk ketika berjalan.
7. Saya setuju bila bhiksu atau bhiksuni mengenakan jubah lama berlengan pendek pada kondisi cuaca yang panas pada musim panas. Pokoknya harus rapi, simpel, dan khidmat. True Buddha Foundation (TBF) boleh meminta perancang untuk merancangnya. Hal ini boleh ditoleransikan.
8. Bhiksu atau bhiksuni sebaiknya menetap di vihara. Bila sedang bepergian, bhiksu atau bhiksuni boleh menginap di hotel. Kecuali ada sebab-sebab tertentu, seorang bhiksu atau bhiksuni sebaiknya tidak menetap di rumah upasaka atau upasika, ataupun membangun tempat tinggal sendiri di mana-mana.

Saya menyatakan bahwa saya tidak kolot, namun saya juga tidak modern. Tarian tradisional dan senam kesegaran jasmani masih diperkenankan. Namun tarian berpelukan dengan lawan jenis dan pergi ke diskotik justru tidak diperkenankan; konser malam kesenian masih diperkenankan, namun bila sudah berbau asusila justru tidak diperkenankan.

Pokoknya, kita tetap menjaga sila secara pikiran. Selama pikiran kita tidak terpengaruh, semua yang kita lakukan masih bisa ditoleransi; sebaliknya sudah tidak bisa ditoleransi lagi bila pikiran kita sampai terpengaruh. Jadi, bhiksu atau bhiksuni boleh bebas menentukan sikapnya sendiri.

Tidak ada komentar: