Bersadhana Sebaiknya Berlatih Berlapang Dada

Di tempat pertapaan Danau Daun, di balik gunung, di batas sungai, hati saya kesepian, namun, luas tak terhingga, diam-diam, diam-diam, saya menulis buku saya, mengungkapkan gagasan saya.

Saya merasa makin lama hati saya makin lapang, saya merenungkan semua yang pernah saya perbuat dulu, ada sebagian yang perlu bertobat, saya pun bertobat di hadapan Buddha dan Bodhisattva, sampai teratai menebarkan keharuman.

Terkenang, dunia sekarang, hati manusia tidak kuno lagi, keinginan materi merajalela, gara-gara kegeoisan dan kepicikan manusia, manusia pun saling bertengkar, berkembang menjadi peperangan antar negara, peperangan antar suku, peperangan antar keluarga, peperangan antar manusia. ...........

Manusia sekarang, hubungan antar sesama manusia, untuk bisa benar-benar rukun, benar-benar saling membantu, benar-benar bicara dari hati ke hati, tidak munafik, tidak menjilat, tidak mengikuti mode, kelihatannya sangat tidak mudah. Mengapa dunia ini bisa begitu banyak perselisihan? Dan tidak bisa ada surga yang indah, saya menyelidiki secara mendalam bahwa semuanya terletak pada ketidakmampuan berlapang dada.

Banyak orang sangat egois, atau sangat cemburuan, atau tidak bisa melihat orang lain hidup dengan baik, ia hanya ingin memperkuat diri sendiri, mengungguli orang lain, inilah asal muasal dari 'perselisihan'.

Mengapa bisa ada enam alam kehidupan?
Yang loba (serakah) masuk ke neraka.
Yang dosa (marah) masuk ke pretta (setan kelaparan).
Yang moha (bodoh) masuk ke alam binatang.

Sementara, alam manusia adalah setengah baik setengah jahat. Asura itu bertengkar tanpa henti, keakuan terlalu mendominasi.

Alam dewa, menjalani sepuluh kebajikan, ada keindahan tersendiri.

Sesungguhnya, siapapun yang memuji Anda, siapapun yang menfitnah Anda, tidak apa-apa.

Asalkan kita berlapang dada, bahkan tak terhingga, itulah kemenangan bersadhana. Saya bertapa di Danau Daun, bahkan mengubah identitas, melupakan ego, bersyukur pada insan, saya tidak penting, insan barulah penting, hati saya tidak ada keluhan, saya tidak menyalahkan orang lain, yang saya salahkan hanya diri sendiri.

Bertobatlah!

Sebagai sadhaka, kita hanya bersyukur, bila melihat orang berlapang dada, kita harus belajar, bila kita melihat orang berpikiran sempit, kita harus introspeksi diri, dunia ini harus menjadi surga yang sejati, ternyata dengan berlapang dada, maka dunia pun menjadi surga. Bila berpikiran sempit, maka selamanya percekcokan dan perselisihan yang tanpa henti.

Dini hari di Danau Daun itu, saya mendaki sampai ke puncak gunung, di sana tidak ada kicauan burung gagak maupun burung gereja (--sunyi senyap), saya melayangkan pandang ke langit biru yang hampa dan samar-samar, tak terhingga, itulah warna asli dunia, di bawah langit biru adalah daratan luas, di daratan luas ada perselisihan dan saling memangsa antar manusia dan dunia insan.

Saya ingin terbang di dalam kebiruan langit.

Doa: semoga dunia bebas dari perselisihan, semoga dunia insan bebas dari saling membunuh dan memangsa.

Hati memenuhi alam semesta.

Sebuah sajak:

Langit biru tanpa cela
Hanya beberapa baris angsa baru terbang melintasi
Melintas tanpa meninggalkan jejak
Tanpa noda dan kotoran

Samar-samar tampak daratan luas
Asap mengepul dari empat penjuru
Tiada kedamaian
Ternyata perang

Siapapun tak mau mengalah
Dekat jaraknya tapi terpisah laksana bumi dengan langit
Sejak itulah manusia dan dewa terpisah selamanya
Seluruhnya adalah pusaran

Sebenarnya buat apa bersadhana
Buat apa berkecimpung di dunia manusia
Hanya berlatih berlapang dada lah
Pikiran akan terbuka dengan sendirinya
Bagaimana orientasi hidup
Yang tak terbayangkan dari hati seorang Bodhisattva
Adalah lapang dada

Tidak ada komentar: