Dilema Antara Bertapa dan Keluar

Sebelum bertapa, saya mengira bertapa lumayan sulit, mengapa sulit? Anda akan tahu begitu bertapa. Setelah bertapa, sekarang saya pun merasa, ingin keluar pun lumayan sulit, mengapa sulit? Di mana kesulitannya?

Mengapa bertapa? Demi mencapai 'tingkat sadhana yang lebih tinggi'.

Mengapa keluar? Demi 'menyeberangkan insan'.

Marilah kita bahas kesulitan keluar! Dunia ini sudah tidak damai, perselisihan dan kekacauan ada di mana-mana, tiada satupun tempat yang tenang. Seorang petapa yang ingin keluar, ia harus menghadapi semua kerisauan duniawi, menjawab hati manusia yang berubah-ubah, mencurahkan perhatian pada dunia yang kejam, dan mencarikan solusi yang tepat, semua ini adalah pengetahuan yang dalam.

Ingin keluar dan menyeberangkan insan, di hati saya masih ada perasaan ingin menyeberangkan insan, namun, apakah begitu keluar, saya akan dipanah orang lain hingga terkapar? Apakah insan yang saya pernah berutang budi akan menyusahkan saya, atau menghancurkan hidup saya, dan mengganggu saya hingga mati.

Urusan duniawi bisa membuat kita pusing tujuh keliling, bisa membuat kita dilema, bisa membuat kita menangis dan tertawa tak menentu, bisa membuat kita kehilangan 'orientasi', dan berasimilasi dengan konsep duniawi, yang paling menakutkan adalah bertolak belakang dengan pencerahan.

Ingin keluar dan menyeberangkan insan, malah berbalik diseberangkan insan, ditenggelamkan insan ke laut ibarat bahtera Dharma yang pecah, kemudian kemasukan air dan karam, habislah sudah!

Memang benar, sudah 4 tahun saya bertapa, bertapa sulit, keluar lebih sulit lagi, kita sayang pada manusia di dunia Saha ini, namun tidak mustahil kita bisa dikhianati, dihancurkan, dibantai, dicampakkan, diinjak-injak oleh mereka, sama seperti Yesus yang dipaku di atas kayu salib, buat apa?

Kecuali bila kita bertekad bulat 'berjuang hingga tetes darah terakhir', melihat dengan jelas 'kepalsuan dunia', melihat dengan jelas 'ilusi mimpi', kita mengabaikan hidup kita sendiri, tidak mempermasalahkan semua reputasi, maka keluarlah, dengan mengandalkan satu napas terakhir ini, bila kesulitan keluar dan terjun ke duniawi sudah dirasakan semua, apakah kita masih ingin keluar? Begitu keluar, kita pun diinjak sampai mampus.

Kenyataannya, bertapa juga lumayan sulit, hati merindukan para insan, harus 'mengasingkan diri' lagi, acuh tak acuh, pura-pura masa bodoh, ibarat pohon kering, mengisolasi diri, berdarah dingin, membelah diri sendiri menjadi dua, sebelah adalah orang awam, sebelah lagi adalah orang suci; sebelah lokiya, sebelah lagi lokuttara; sebelah pintar, sebelah lagi bodoh; sebelah melihat sejelas-jelasnya, sebelah lagi tidak melihat; diri sendiri memahami diri sendiri, tidak usah lagi memahami orang lain, bukankah saya telah menjadi 'bujangan'?

Keluar berarti memasuki 'duniawi dan kemewahan'. Bertapa berarti memasuki 'nirvana dan sukha'.

Keduanya bercampur aduk, keduanya sulit dilepaskan, masing-masing ada baiknya, masing-masing ada sulitnya, makanya saya bingung, takut, memikirkan semua ini, benar-benar sedang cari penyakit sendiri.

Semuanya terserah jodoh, apapun juga tetap tenang.

Sebuah sajak:

Kamar bertapa di tengah gunung dan di pedalaman hutan
Saat-saat hening adalah saat terindah
Siang maupun malam tak ada yang bertandang
Kerap ada gerimis yang turun cepat dan lebat
Mentari terbit maupun tenggelam ada sedikit siluet

Hati sangat merindukan para insan
Pikiran bersih menyadarkan diri sendiri hanya diri sendiri yang mengerti
Di tengah samadhi terbang melayang ke mana-mana
Perasaan ketakutan
Kalian pasti tahu saya merindukan kalian

Bertapa juga sulit bertahan
Keluar pun takut keributan
Bagaimana jalan yang harus saya tempuh
Angin menerpa kamar bertapa
Hanya menyatakan maksud hati pada langit

Bagaimana hidup di dunia yang kacau dan penghujung zaman
Dukha, sunya, dan anitya hanya dapat dirangkul dalam dada
Maju atau mundur
Lokuttara dan lokiya
Bertapa atau keluar
Boleh dipertimbangkan
Keduanya saling menggundah di dalam hati

Tidak ada komentar: