Merindukan Istri

Saya punya seorang siswa yang sudah lanjut usia bernama Lianhua Zhen-nan, pada usia senjanya, istrinya meninggal dunia, ia sedih sekali. Sehingga sering ingin loncat gedung bunuh diri, keluarganya menjaganya, menasihatinya agar jangan bunuh diri, ia tidak dengar.
Lianhua Zhen-nan dan istrinya sangat harmonis, setelah istrinya meninggal dunia, barang-barang di rumah tidak diganti maupun digeser.
Ia setiap hari mencium pakaian istrinya.
Bernostalgia keharmonisan semasa hidup.
Bernostalgia ikrar cinta mereka.
Bernostalgia kata-kata manis mereka.
Ia mengambil foto istri, masa lalu sulit dilupakan. Berkhayal ke mana-mana.
Sebentar menangis.
Sebentar tertawa.
Mulut komat-kamit bicara sendiri, semua adalah dialog semasa hidup.
Ia tidak pernah meninggalkan rumah barang sejenak.
Seakan-akan mendengar bunyi pintu ditutup dari istrinya yang telah pulang.
Mendengar bunyi “tok, tok, tok” dari istrinya yang sedang memotong sayur di dapur.
Bangun tengah malam, seakan-akan istrinya duduk di depan tempat tidur.
Di tangga, seakan-akan istrinya sedang turun tangga.
Ia tidak berselera makan dan minum.
Sering menangis tersedu-sedu, sehari menangis berkali-kali.
Di balkon ia menyiram bunga, membuat ia teringat istrinya setiap hari juga menyiram bunga di balkon. Ia hampir kerasukan, ingin sekali loncat pagar, terjun ke bawah, ikut istrinya pergi.
Putra-putrinya melihat sang ayah seperti kerasukan mara. Karena ia hilang, di cari di mana-mana tidak ditemukan.
Terakhir, ditemukan, ternyata ayahnya pergi ke makam istrinya seorang diri, bimbang dan sedih, terus-menerus duduk menangis di atas makam, menangis dengan pilunya hingga wajahnya terlihat pucat dan lesu.
Putra-putrinya tidak berdaya, sehingga mencari saya Mahaguru Lu, dengan harapan semoga saya melakukan ritual agar ayahnya hidup normal.
Saya menggambar 3 lembar fu.
1. Supaya Lianhua Zhen-nan jangan berkhayal yang bukan-bukan.
2. Supaya Lianhua Zhen-nan bahagia.
3. Supaya Lianhua Zhen-nan memiliki pikiran yang benar.
Setelah fu dibakar:
Suatu malam, ia seakan-akan melihat istri duduk sendirian di depan meja rias seperti biasanya, ekspresi murung, tidak bicara.
Ia menghampiri.
Istri juga tidak menghindar.
Ia mengulurkan tangan ingin menjamahnya.
Istrinya menghindar.
Ia bertanya padanya, “Apa kabarmu sekarang? Mengapa menghindari saya?”
Ia tidak bicara.
Ia terus bertanya padanya, “Mengapa tidak seperti dulu lagi?”
Ia menjawab, “Jodoh kita telah berakhir. Lain kali, kamu adalah kamu, saya adalah saya. Saya telah pergi, menjalani hidup saya sendiri. Kita telah berpisah selamanya!”
Istrinya tiba-tiba menghilang!
Lianhua Zhen-nan begitu mendengar kata-kata yang begitu kejam, sejak itu kerinduannya hilang seketika, semua menjadi normal!
*
Saya berkata, Lianhua Zhen-nan oleh sebab itu menghentikan kerinduan terhadap sang istri, juga boleh dikatakan, dari kebingungan kembali menjadi orang normal yang berpikiran jernih.
Namun, jika setiap orang punya pandangan seperti ini, ayah dan anak, kakak dan adik, suami dan istri, akankah perasaan satu sama lain menjadi setipis kertas? Ini juga sebuah persoalan besar.
Bagaimana sebaiknya?

Tidak ada komentar: