Suatu kali. Bersama ibu, Chen Jia-ping, Lu Hui-huang, dan lain-lain, pergi makan siang di sebuah restoran di Taipei.
Melewati
kuil Enzhugong Kelenteng Xingtian, kami pun masuk dan sembahyang
sebentar. Begitu masuk kuil, terlihat api dupa mengepul, banyak sekali
pengunjung.
Di dalam aula utama ada upacara, bhiksu dan bhiksuni memanjatkan Sutra.
Di
luar aula utama ada banyak upasaka dan upasika yang mengenakan jubah
biru, tangan memegang dupa, membantu pengunjung mengatasi bermacam hal
seperti menghilangkan ketakutan dan hawa negatif, kelenteng dipenuhi
oleh massa dan bermeja-meja bahan persembahan.
Saya berkata, “Saya ingin masuk ke aula utama untuk sembahyang Guansheng Dijun.”
Namun, saya melihat sebuah papan, di atas tertulis, “Pengunjung dilarang masuk.”
Tangan
saya memegang dupa, di luar aula utama, sembahyang ke arah Guansheng
Dijun dari jarak jauh, mulut berdoa, “Hidup Shengdi, api dupa selalu
lestari, menyeberangkan insan laksana langit.”
Selesai berdoa, saya keluar lewat pintu samping.
Tak disangka—
Guansheng Dijun mengejar saya dari belakang.
Dijun
memegang Pedang Naga Hijau, menggores tumit kaki belakang saya, kaki
belakang saya langsung seperti keseleo, sehingga saya berjalan
terpincang-pincang.
Dijun berkata, “Berhenti, berhenti, berhenti.”
Saya menoleh dan bertanya, “Dijun mencari saya ada masalah apa, lalu mengapa menggores kaki saya?”
Dijun berkata, “Melihat Anda datang ke kuil, kepala memancarkan 3 cahaya, jika tidak menemui Anda, terkesan kurang sopan.”
Saya berkata, “Mengapa menggores saya?”
Dijun
berkata, “Saya ingin memberitahu Anda, hati-hati dalam bertindak,
jangan sampai jatuh ke dalam kecaman musuh lewat tulisan.”
Saya berkata, “Terima kasih banyak atas peringatannya!”
Dijun dan saya berpamitan.
Saya sampai ke restoran, kedua kaki baru dapat berjalan normal.
Belakangan—
Saya
dengar, Kelenteng Xingtian tidak memperbolehkan sembahyang dengan dupa,
hanya beranjali dengan tangan saja, bahan persembahan juga tidak perlu
lagi. (Dupa terlalu banyak, berdampak terhadap lingkungan; persembahan,
dewa juga tidak makan)
Orang bertanya pada saya, “Bolehkah seperti ini?”
Saya
menjawab: secara tradisional, dupa adalah dupa surat, bermakna
menyampaikan; bahan persembahan adalah formalitas, bermakna ketulusan.
Orang biasa sudah lama menjalankannya, tiba-tiba berubah, orang-orang
akan tidak mampu beradaptasi. Namun, kebiasaan juga bisa menjadi alami!
Lebih lanjut, Tantra kita menekuni Sadhana Puja:
Puja api – bahan persembahan homa sangat banyak, dengan api membakar bahan persembahan dan dupa.
Puja air – bahan persembahan juga banyak.
Puja asap – menghilangkan kebencian musuh dan penagih utang.
(Tataritual sangat majemuk, ada dupa ada persembahan)
Dengan
etiket dunia manusia untuk menghormati Buddha, Bodhisattva, Vajra,
Dharmapala, Dakini, dan para dewa. Berdoa agar yidam turun. Namun,
sampai tingkatan alam tertinggi juga mampu:
Menjadikan langit sebagai altar mandala. (tiada pratima)
Mengundang dengan dupa hati. (tiada dupa surat)
Menjadikan persembahan hati sebagai persembahan tertinggi. (tiada persembahan benda nyata)
Saya justru bertanya, “Apakah orang awam biasa dapat memahami tingkatan alam yang tertinggi?”
Sajak:
Tiada tiada tiada tiada lagi
Kosong kosong kosong kosong lagi
Mencapai sifat persamaan (samata)
Ada maupun tiada adalah angin
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar