Di artikel "Pengadilan Malam Dewa Kota" dalam sebuah buku HATI TEDUH SEKETIKA, mengisahkan Zheng Ke dihukum Kaisar Yu dengan paku langit. Sementara, Mahaguru Lu di dalam buku juga menyebutkan "Begitu titah Buddha turun, paku langit bisa dicabut", Mahaguru sudah seorang Buddha, mengapa Mahaguru tidak dapat mencabutnya? Jika "Begitu titah Buddha turun, paku langit bisa dicabut!", mengapa Mahaguru masih harus bertanya pada Sang Buddha?"
Jawaban saya:
Saya cerita dulu sebuah kisah kecil:
Periode awal saya mengadakan konsultasi, ada seorang bernama Liao Jun datang ke tempat saya, cara Liao Jun berjalan sangat aneh.
Kakinya berbentuk huruf "O", saat berjalan, telapak kaki kanan dan telapak kaki kiri nyaris menempel, ia harus berjalan dengan langkah pendek cepat, saat berjalan, bentuknya aneh, lenggak-lenggok.
Saya bertanya pada Liao Jun, bagaimana kejadiannya?
Liao Jun menjawab, suatu kali, begitu bangun dari tidur, sudah begini.
Saya bertanya saat umur berapa?
Liao Jun menjawab saat umur 47 tahun.
Oleh karena itu, saya khusus mengamati sebab karmanya, di dalam neraka saya melihat seorang Liao Jun yang lain, sepasang kaki Liao Jun ini memang dipaku oleh Kaisar Yu dengan paku langit.
Saya berhasil memeriksa jodoh karma Liao Jun dipaku, ternyata tadinya ia tidak percaya makhluk halus, karena "melampiaskan kemarahan", ia tebang sekaligus pratima-pratima di sebuah vihara dengan golok.
Ia suka menebas kaki pratima, selain Buddha, bahkan kaki 500 Arahat pun ditebas habis.
Sehingga, sepasang kakinya dipaku oleh Kaisar Yu di langit dengan paku langit.
Saya bertanya, "Apakah ada kejadian ini?"
Ia menjawab, "Saya melakukannya karena emosi sesaat, sekarang menyesal pun sudah terlambat!"
Saat itu, walaupun saya Buddha, "Begitu titah Buddha turun, paku langit bisa dicabut", namun, saya tidak mampu melakukannya.
Liao Jun sudah meninggal dunia, sejak ia umur 47 tahun hingga pada hari ia meninggal dunia, ia masih dalam kondisi dipaku dengan paku langit.
Saya berkata, "Mencabut paku langit juga perlu jodoh karma."
*
Dalam ko'an Zen, ada sebuah kisah sebagai berikut:
Seorang arya memasuki samadhi, setelah memasuki samadhi, tidak pernah keluar samadhi.
Buddha Sakyamuni menitahkan beberapa murid utama (Sravaka Arahat) untuk memanggil sang arya keluar dari samadhi.
Namun, sang arya tetap memasuki samadhi, dipanggil pun tidak bergeming.
Terakhir, Buddha Sakyamuni meminta Bodhisattva Manjushri memanggil sang arya keluar dari samadhi, ketahuilah bahwa Bodhisattva Manjushri adalah guru dari 7 Buddha, karena pernah menjadi guru dari 7 Buddha, kekuatan Manjushri pun tidak terbandingkan.
Bodhisattva Manjushri mendapatkan titah Buddha, dengan suara yang merdu menasihati sang arya untuk keluar dari samadhi.
Namun, sang arya tetap tidak bergeming.
Bodhisattva Manjushri yang memiliki Dharmabala agung, tetap tidak dapat menggugah sang arya.
Belakangan, seorang nenek di dapur menghampiri, melontarkan satu kata pada sang arya, sang arya pun keluar dari samadhi.
Sang Buddha bertanya pada semua orang, "Mengapa?"
Apakah kekuatan Bodhisattva Manjushri sebagai guru dari 7 Buddha kalah dengan si nenek?
Bukan.
Melainkan, si nenek dan sang arya memiliki "jodoh sesuap nasi" saja!
Buddha juga memiliki 3 ketidakmampuan:
1. Tidak mampu menyeberangkan insan tak berjodoh.
2. Tidak mampu mengakhiri dunia insan.
3. Tidak mampu mengakhiri segala rintangan karma.
"Begitu titah Buddha turun, paku langit bisa dicabut" adalah kekuatan agung Buddha, namun, juga perlu jodoh karma untuk "dicabut".
Buddha Sakyamuni sejak mencapai kebuddhaan, menemui banyak fitnah, serangan, kegagalan......
Difitnah perempuan.
Dikhianati murid.
Diserang aliran sesat.
Ada beberapa yang bisa diatasi, ada beberapa yang tidak bisa diatasi juga, misalnya Suku Sakya dimusnahkan, misalnya Y.A. Moggalana wafat secara tidak wajar, misalnya dikhianati Devadatta......
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar