Mencari Surga Dunia

Di dalam buku "Seorang Bhiksu Pengelana", saya telah berwisata ke banyak negara, tujuan utamanya mencari tempat bertapa.

Lokasi bertapa, tentu saja saya berharap yang lingkungannya bagus, ada gunung, ada sungai, ada pohon, penduduknya tidak rumit, jangan sampai terlalu buruk.

Selain itu, makan dan hidup sehari-hari harus praktis, yang penting adalah transportasi, bila belanja bisa ditempuh dengan jalan kaki, tidak perlu menyetir.

Iklimnya sedang, jangan terlalu dingin, juga jangan terlalu panas, yang paling ideal adalah empat musim bagai musim semi.

Juga jangan terpencil, paling baik ada rumah sakit, yang paling ditakutkan dalam bertapa adalah meriang, juga takut tiba-tiba sakit apa, kalau sakit harus cari dokter, kalau tidak ada rumah sakit, juga merepotkan, tak bisa segera berobat, bila sakit ditunda, sakit biasa bisa menjadi parah.

Dalam bertapa tentu saja harus makan, sekalipun makan ala kadarnya, juga harus menyediakannya sendiri, bagaimanapun saya tak boleh tidur di jalanan, makan tak tentu, sadhaka sudah tidak populer lagi mengemis makanan, bertebal muka meminta sumbangan dari orang lain, dan makan makanan sisa sudah sangat jarang terjadi.

Pernah beberapa kali dengan membawa panci kecil atau kantongan plastik, saya pergi ke warung kecil terdekat membeli camilan, tahulah, aroma dari warung kecil ini justru cukup membuat saya berlama-lama di sana.

Saya juga bisa setiap hari cuma makan hamburger, setiap hari hotdog, setiap hari kentang, makanan ala timur dan makanan ala barat, saya pun boleh adaptasi. Saya tidak setiap hari makan nasi putih, kadang-kadang semur, tumis, kukus, saya pun makan dengan lahap; ada pizza, ada makaroni pun sudah bersyukur pada langit dan bumi.

Saya sangat sederhana dalam berbusana, selalu memakai pakaian yang paling murah, yang penting tidak kotor, saya belajar hidup miskin, dalam bertapa, busana tidak perlu diperlihatkan pada orang lain, baju saya itu sudah yang termurah sampai tak bisa lebih murah lagi.

Saya selalu tidur di atas lantai tanah, lantai kosong seluas satu atau dua meter persegi, dengan menggelar tikar atau kasur.

Meditasi berjalan ke mana-mana, semuanya mengandalkan kedua kaki ini, beberapa tahun terakhir ini, rasa yang hambar mondar-mandir di dalam kesan yang hambar. Hidup demikian, sikap saya masih bisa tenang-tenang saja, sikap bersadhana masih anggun, tidak memandang rendah lingkungan sekitar, melainkan merasa hina dan rendah, juga tidak ada lagi semangat yang menyala-nyala, semangat yang menyala-nyala hanya istilah untuk mengenang saja.

Anda percaya atau tidak, selama empat tahun menjalani hidup hambar, hampir stereotip, tak ada muslihat yang tak perlu, tak ada lagu dan tarian, tak ada hiburan, namun, saya bebas mengendalikan emosi saya, ibarat air mandek.

Surga manusia, sebenarnya sangat susah dicari, sebenarnya surga sejati masih berada di hati kita sendiri, semuanya mengandalkan hati untuk meraciknya, semuanya juga mengandalkan hati untuk memulennya, semuanya mengandalkan hati untuk mempertahankannya.

Mencari surga dunia, tentu saja tak ada.

Saya mencerahi bahwa:
Anda merasa susah maka susah.
Anda merasa tidak susah maka tidak susah.

Sajak:

Hati melayang lembut di tengah angin
Hati mengendap di tengah air
Hati sebentar terbuka sebentar terkekang
Melewati empat tahun tanpa jejak

Sama sekali tiada kicauan kepodang dan walet
Tanpa gosip
Tanpa bangunan mewah
Hanya seruas jalan bersadhana

Tidak perlu mematuhi Sila
Ada sila sama halnya tidak ada
Juga tiada kemunafikan
Hanya seorang saja tanpa relasi
Sila apa yang perlu dijelaskan

Bagaikan sekelumit rasa alam suci
Terbang pergi di tengah samadhi
Apa lagi yang dinamakan benci
Tiada benci maka tiada kemarahan
Diri ini sangat ringan di dunia ini

Tidak ada komentar: