Hidup Saya Dilalui dengan Menulis

Saya ingat suatu kali saya pulang ke Taiwan untuk menengok orang tua saya. Saya menemui ayah saya yang sudah berusia hampir 80 tahun. Ayah saya berkata pada saya, "Saya sudah tidak mengharapkan apa-apa lagi. Untung saja saya masih mempunyai nafsu makan. Nafsu makan inilah yang menyokong saya untuk tetap hidup."

Ayah saya berkata lagi, "Sheng-yen (Katsu), kamu adalah sadhaka yang melatih diri hingga lima landasan menjadi kosong, dan semua nafsu pun hilang. Kalau begitu, apa artinya hidup ini?"

Saya tersentak begitu mendengarnya.

Ucapan ayah saya masuk akal juga. Sebenarnya setiap manusia tanpa kecuali hidup karena nafsu. Kalau nafsu sudah hilang sama sekali, apa artinya lagi hidup ini?

Saya tidak berkata apa-apa pada ayah saya, hanya tertawa. Saya mengetahui bahwa ada seorang nyonya konglomerat yang tiada hari tanpa belanja batu permata, jam tangan bermerek, barang antik, dan perhiasan. Ia melakukan rutinitas demikian setiap hari untuk mengisi kekosongan dalam hidupnya. Kebiasaannya belanja hanya untuk kesenangan saja. Namun, ia mengatakan pada saya bahwa ia tidak bahagia.

Saya juga mengetahui bahwa ada orang yang mempunyai hobi koleksi perangko, menyeduh teh, koleksi kotak korek api, koleksi minuman beralkohol yang terkenal, koleksi barang keramik, koleksi kristal, bercocok tanam, berfoto bugil, membuat kliping media cetak, koleksi batu-batuan, dan lain sebagianya.

Orang yang lebih kaya mempunyai hobi koleksi akustik, koleksi automobil mewah, koleksi lukisan dari pelukis ternama, koleksi barang antik, bahkan koleksi properti, koleksi barang bermerek, dan lain sebagainya. Yang mereka kejar adalah kesenangan.

Saya sendiri tidak berpendapat bahwa terjun ke dalam materi adalah suatu kesalahan. Nafsu terhadap materi memang dibutuhkan. Tepat juga bila dijadikan sebagai sasaran pelampiasan. Di dalam masyarakat yang beradab, bisa saja terjadi keajaiban, sehingga hidup menjadi lebih berwarna dan berbobot.

Namun, bila seseorang terjun hingga tidak bisa melepaskan diri, hal itu sudah tidak baik lagi!

Misalnya membuat kliping media cetak hingga memenuhi seisi rumah, bahkan jalan setapak untuk lewat saja pun sudah tidak ada, ranjang untuk ditiduri pun penuh dengan guntingan majalah dan surat kabar! Atau barang belanja memenuhi seisi rumah, bahkan setelah pindah rumah pun, tetap saja berbelanja, tidak peduli apakah barang yang dibeli itu berguna atau tidak. Atau batu-batuan dikoleksi hingga memenuhi seisi rumah, gila dengan batu, berteman dengan batu, dan tidak mau bergaul dengan orang lain.

Bila hobi menjadi kecanduan, itu menunjukkan suatu kondisi tidak berdaya, lemah, dan terisolasi. Kadang-kadang meningkat menjadi depresi.

Saya bukan seorang analis kejiwaan. Namun, saya mengetahui bahwa bila seseorang kecanduan hingga taraf tergila-gila, ini bahaya sekali. Orang itu harus dibebaskan.

Saya menganjurkan pembinaan spiritual. Merenungkan bahwa fisik, perasaan, kesan pikiran, dan sifat adalah kosong. Namun, saya merasa bahwa fisik yang semu juga tidak sepenuhnya semu. Paling tidak ketika masih hidup terasa semu tetapi nyata. Fisik saya adalah semu tapi nyata, palsu tapi asli. Tanpa fisik yang semu ini, bagaimana pula kita mencapai pencerahan.

Oleh karena itu, saya menganut aliran perpaduan antara jiwa dan raga. (Rupa adalah sunya, sunya adalah rupa, rupa tidak ada bedanya dengan sunya, sunya tidak ada bedanya dengan rupa) Saya mengikuti alam. Metode pembinaan diri saya adalah metafisika. Saya juga punya hobi saya sendiri. Saya merasa bahwa menulis membuat saya bahagia, menulis membuat saya melampiaskan kesedihan saya, juga membuat hidup saya bahagia dan tidak ada yang hilang.

Hidup memang sementara, hubungan antara sesama manusia pun akan putus, setiap orang pasti akan lenyap; namun, di dalam tulisan saya, eksis selamanya, tulisan saya sangat realistis, walaupun masa silam yang bahagia telah berlalu, namun, seperti kemarin saja!

Saya bertahan hidup dengan menulis, walaupun hanya seketika, namun abadi. Menulis buku adalah salah satu kebahagiaan saya, nilai hidup saya, dan saya selalu berbahagia dengannya.

Setiap hari saya rutin menulis sedikit, di samping terasa bernilai, juga terasa bahagia. Ini ibarat sebuah prinsip. Jangan terlalu tegang. Santai sedikit. Saya tidak ingin diikat, namun, juga senang menulis dan melukis. Saya bersadhana dengan gembira, menulis dengan gembira, jiwa dan raga menyatu, itulah kebahagiaan hidup yang sejati.

Tidak ada komentar: